Menurutnya, salah satu syarat utama penyelenggaraan pemilu dalam negara demokratis adalah fixed term, atau waktu yang berkala.
"Dalam perspektif itu KPU harus melakukan banding atas putusan PN Pusat,” kata Tholabi menegaskan.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid menilai putusan PN Jakpus untuk menunda pemilu 2024 potensial menciptakan kekacauan sistem ketatanegaraan, jika diterapkan.
Fahri menyayangkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait penundaan pemilu 2024.
"Putusan pengadilan Jakarta Pusat itu jika diterapkan, maka konsekuensinya sangat serius, yaitu potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan, yang mana kekuasaan pemerintahan, baik presiden maupun lembaga-lembaga negara lainya seperti DPR, DPD, MPR, akan kehilangan legitimasinya, sebab pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai agenda konstitusional," ujar Fahri Bachmi kepada wartawan, Jumat (3/3/2023).
Fahri mencontohkan jabatan presiden dan wakil presiden bakal tidak memiliki legitimasi lagi pasca Presiden Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin berakhir masa jabatannya pada 20 Oktober 2024. Pasalnya, tidak ada pelantikan presiden dan wakil presiden baru hasil mandat rakyat melalui pemilihan umum yang legitimate.
Baca Juga: Minum kopi tiga cangkir sehari bisa pengaruhi kesehatan ginjal? Begini penjelasan peneliti
“Sebab UUD 1945 tidak memberikan jalan keluar jika Pemilu tidak dapat dilaksanakan tepat waktu, atau tidak ada presiden yang terpilih sesuai agenda pemilu yang telah ditetapkan, ini akan menjadi suatu keadaan kebuntuan konstitusional, ini sangat riskan, dan taruhannya terlalu mahal, itu salah satu impact yang cukup serius jika mengikuti nalar dari putusan ini,” jelas Fahri.
Menurut Fahri, idealnya putusan perbuatan melawan hukum atau PMH dalam sengketa perdata oleh pengadilan negeri seperti sengketa KPU dan Partai Prima, tidak boleh berdimensi terhadap siklus serta agenda ketatanegaraan. Pasalnya, sifat dari putusan perdata hanyalah mengikat para pihak yang bersengketa dengan karakter contentiosa atau gugatan antara dua pihak.
"Artinya, putusan PMH itu tidak bersifat ergo omnes yang mengikat pada lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusional yang umumnya melaksanakan kewenagan publik. Apalagi berkaitan dengan pelaksanaan agenda ketatanegaraan terkait sirkulasi kepemimpinan nasional yang tentunya berlandaskan pada hukum publik," jelas Fahri.
Baca Juga: Bukan tersangka, AG pacar Mario Dandy, ditetapkan sebagai pelaku dan tidak ditahan, ini alasannya
Selain itu, Fahri Bachmi menilai putusan dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tersebut bercorak ultra vires atau putusan tanpa landasan hukum. Karena itu, kata Fahri, putusan tersebut bersifat null and void atau batal demi hukum dan tidak dapat dieksekusi.***
Artikel Terkait
Kepala desa minta jabatan diperpanjang hingga 9 tahun, Komisi II:Jangan kaitkan dengan kepentingan Pemilu 2024
Jelang Pemilu 2024, inilah masa kerja PPS, PPK, Pantarlih dan Panwaslu berikut honor yang diterima
PPP dan PAN, dua parpol parlemen tak lolos parliamentary threshold Pemilu 2024, hasil survei LSI Denny JA
Pemilu 2024, mayoritas pemilih berasal dari generasi muda usia 17-40 tahun
Harlah PPP ke 50 di tengah kekhawatiran tak lolos parliamentary threshold di Pemilu 2024