Untuk orang islam acuannya pada hukum KHI pada No.1 tahun 1991 yang dikaitkan dengam surat keputusan Mentri Agama nomor 154 tahun 1991.
Baca Juga: Makin keren! Instagram luncurkan fitur terbaru, apa saja?
Ada pasal 40c dan 44 dalam KHI yang menjelaskan bahwa dilarang perkawinan pria dan wanita apabila seorang wanita tidak beragama islam dan pasal 44 seorang wanita dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama islam.
Fatwa MUI No.4/MUNAS VII/MUI/8/2005 menetapkan perkawinan beda agama mutlak haram dan tidak sah.
Kemudian perkawinan pria muslim dan wanita ahlul kitab hukumnya tidak sah dan haram karena pernikahan beda agama tidak sesuai dengan tujuan hukum islam yaitu, memelihara agama, jiwa, keturunan, dan harta.
Baca Juga: Tak dapat uang pensiun dari KPU, Arisandi Kurniawan gugat Presiden Jokowi sebesar Rp 156 miliar
Pernikahan orang islam yang menikah dengan nonmuslim masih bisa saja terjadi akan tetapi tidak berdasarkan hukum dan aturan dalam islam.
Pernikahan beda agama tetap dicatat mengacu pada UU No.23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan pasal 35.
Pada pasal 34 perkawinan ditetapkan oleh pengadilan maksudnya pernikahan yang dilakukan oleh pihak yang berbeda agama.
Baca Juga: Menakjubkan! Keutamaan dzikir jika dijadikan amalan, yuk disimak!
Pernikahan beda agama tetap dicatat pada Pengadilan Negri dan tidak dicatat dalam Pengadilan Agama.
Dapat diambil kesimpulan bahwasanya pernikahan beda agama hukumnya haram dan tidak sah, dan jika dilanjutkan akan menjadi zina sepanjang pernikahannya seperti yang sudah dijelaskan dalam al-Quran surah Al-Baqarah ayat 221.
Dalam segi biologis apabila memiliki seorang anak dalam pernikahan ini maka anak tersebut merupakan anak hasil zina dan ayahnya tidak dapat menjadi wali didalam pernikahannya.
Pernikahan beda agama ini ibarat kerusakan apabila tidak ada ketegasan dari pemerintah, dan pemerintah tidak boleh mengibaratkan bahwa pernikahan beda agama ini berbentuk toleransi.