Sudah 36 tahun tak naik gunung, pria sepuh ini berhasil mencapai puncak Rinjani!

photo author
- Rabu, 21 September 2022 | 11:51 WIB
Pracoyo Wiryoutomo. atau kerap disapa Mas Coy, saat berada dipuncak gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat  (Foto : Ist)
Pracoyo Wiryoutomo. atau kerap disapa Mas Coy, saat berada dipuncak gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat (Foto : Ist)

Ahad pagi, kami bersiap ke turun melalui jalur Danau Segara Anakan, terus menurun ke Gua Air, kemudian menginap di Kebun jeruk satu lembah di antara bukit-bukit yang indah.

Perjalanan ke danau, meski menurun, bukanlah jalan yang mudah. Ini karena jalurnya didominasi dengan bebatuan. Kemiringan cukup terjal, dan banyak yang langsung di pinggir jurang. Perlu ekstra kehati-hatian, agar tidak terpeleset.

Jalanan pulang, ternyata tak selamanya turun. Untuk ke arah danau yang jelas berada di bawah, tetap beberapa kali mendaki bukit kecil. Di etape ini, kita disuguhi pemandangan yang bukit yang indah, dan dinding-dinding bukit yang menawan. Tapi tentu, puncak keindahanya ada di Danau Segara Anakan.

Ya, di danau ini kita dimanjakan dengan melihat secara jelas anak gunung yang baru “lahir” tahun 1994 itu. Bibir danau dikelilingi perbukitan, dan airya yang biru membuat mata tak hentinya meneguk surga dunia.

Di beberapa sudut pendaki ada yang memancing ikan, ada yang istirahat, dan ada yang sekedar cuci muka. Tak afdhol rasanya, tidak mengabadikan minum teh atau kopi di pinggir danau. Nikmat, lebih nikmat terasa.
Puas menikmati danau plus perbukitan yang mengelilingi, namun kami harus berjalan turun lagi ke arah ke Kebun jeruk, sebelum tembus ke Desa Torehan sebagai akhir prosesi pendakian.

Untuk mencapai ke lembah ini, kami harus beberapa kali menanjak bukit, dan juga merangkak naik-turun di sela-sela tangga kayu. Di satu bukit, kita melewati lembah yang mempertemukan dua bukit besar. Dan, special lagi ada tempat air panas tempat merendam kaki. Minimal mengurangi rasa pegal-pegal. Sambil merendam kaki, kami makan siang setelah sebelumnya sholat Dzuhur dan Azhar digabung.

Kembali melanjutkan perjalanan, kami menuruni bukit, dan juga nanjak seperti tak kenal habis. Kami melewati Savana Propok dan Bukit Kondo yang memanjakan seluas mata memandang. Di satu bukit, kami ratusan meter berjalan di bibir jurang. Salah menginjakan kaki, bisa jadi sudah berada di alam yang berbeda, kata Yandi. Eh, ada mata air. Kami pun cuci muka, plus tentu minum sepuasnya. Tak kalah penting, menambah bekal air untuk melanjutkan perjalanan.

Masya Allah! Alhamdulillah, pendaki akan bertemu dengan Air Terjun Panimbungan. Ini air terjun memang tidak bisa kita jamah, karena akses menunju lokasi yang tidak memungkinkan. Tetapi, dengan melihat dari kejauhan saja, rasanya malas betul untuk melanjutkan perjalanan pulang. Ingin sekali, terus menyuap demi sesuap keindahan itu ke sanubari.

Sampai di lembah Kebunjeruk, sudah menjelang Magrib. Kami menginap di sini. “Sudah lama gak mandi di kali, ayuklah,” kata Pracoyo saat kawannya membujuk ikut mandi.

Benar saja, meski air sedikit tercampur beleranng, malam itu tim pendaki ramai-ramai menikmati dinginnya air sungai. Gak bisa berlama-lama berendam, karena arus yang cukup kuat dan dingin cukup lumayan. Setelah dua hari tak mandi, dan badan penuh keringat, air sungai malam itu seakan tahu kemauan badan ini. Keramas, bersabun, dan njebur. Njebur lagi. Fresh, segar.

“Ayuk Dok, kita rasakan sholat di pinggir sungai,” ajak Pracoyo ke drg Mahe. Maka, tim pun bergantian sholat jamaah di atas batu yang lumayan datar dan hanya cukup untuk dua orang.

Malam hari di Lembah, terasa sangat istimewa. Bulan sabit di atas kepala, bintang gemintang menemani malam yang cerah dan terasa hangat. Tanpa kabut, hanya sedikit angin. Maka, di kesipian malam itu terdengar pendaki ada melantunkan ayat suci Al Quran. Entah tadarus atau sholat malam, yang pasti terasa sekali sukma ini bergetar di sahdu alam terbuka. Dini hari. Sepi. Hening, hanya ayat suci yang terdengar dan terpaaan angin di dedaunan.

Pagi hari perjalanan pulang melewati Hutan Torehan, terasa ringan karena area yang mayoritas tertutup rerimbunan pohon. Adem, suara-suara gesekan daun dan dahan terasa sekali syahdu.

Tak terasa Desa Torehan pun terlihat. Kami ketemu tukang ojek dan mengantarkan ke base camp terakhir di dekat Masjid Desa Torehan. Total perjalanan kami, lebih dari 32 km, di tempuh dalam tiga hari dua malam. Dan, paling berkesan tentu sesi foto-foto.

TIPS HIKING UNTUK USIA 50-AN TAHUN

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Dyan Putra

Tags

Rekomendasi

Terkini

X