Sudah 36 tahun tak naik gunung, pria sepuh ini berhasil mencapai puncak Rinjani!

photo author
- Rabu, 21 September 2022 | 11:51 WIB
Pracoyo Wiryoutomo. atau kerap disapa Mas Coy, saat berada dipuncak gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat  (Foto : Ist)
Pracoyo Wiryoutomo. atau kerap disapa Mas Coy, saat berada dipuncak gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat (Foto : Ist)

“Gak sampai tiga jam dari Pos 2 itu sudah termasuk cepat. Hebat ini bapak-bapak,” kata Deni yang hampir setiap pekan mendampingi pendaki ke Puncak Rinjani. Total jarak yang ditempuh “cuma” 1,97 km dengan elevasi 554 meter. Ada beberapa tanjakan yang kimiringannya, 80 derajat. Tajam, dan mengharuskan tenaga yang kuat untuk bisa mendaki.

Di Pos Plawangan ini, hampir semua pendaki istirahat dan buka camp alias tenda. Saat itu, yang mengherankan, justru pendaki dari Malaysia. Dari 400-an pendaki, hampir separo dari Negeri Jiran itu.

Mereka menyebar di beberapa tenda, dengan beragam tour guide juga. Tim ini sempat beberapa kali bercakap-capak dengan tetamu dari Malaysia ini. Bahkan, beberapa kali foto bersama, dan saling minta tolong mengabadikan dengan Hp.

Tim istirahat di Plawangan. Setelah bebersih diri, tim sholat Dzuhur dan Azhar dengan cara Jama Qashar alias digabung dan dipendakan menjadi 2 rakaat per sholat.

Sore hari ngopi-ngopi cantik, sambil sesekali berfoto dengan latar belakang Puncak Rinjani atau Danau Segara Anakan, di bagian kanan dari arah pendakian.

Tentu, momen ini sangat terasa istimewa, karena harus menunggu saat ketika kabut pergi. Jadi, sangat senang bila ada yang tiba-tiba teriak, “Woii danau kelihatan! Danau indah banget!”.

Menurut penuturan beberapa pendaki, tidak setiap orang mendapatkan momen indah semacam itu. Ya itu tadi, karena sering kali tertutup kabut.

"Selesai makan malam, segera sholat Magrib dan Isya. Karena dingin dan hembusan angin demikian menggigit sampai ke tulang, maka kami masuk ke tenda. Semua bersiap bekal yang akan dibawa summit. Bib Opay memberi komando, “Bawa tas kecil saja. Makanan ringan, dan minuman saja,” katanya. Setelah itu, bersiap tidur.

SUPER LELAH YANG TERBAYAR

Bagi Pracoyo, malam itu justru layaknya mau hadapi ujian berat. Meski semua bekal sudah siap, dan diringkas, namun dia tidak bisa tidur. Dia sudah dengan baju hangat berlapis, dengan sleeping bag yang juga hangat, tetapi matanya tidak bisa segera terpejam.

Pikirannya berkecamuk. “Kayak waktu kecil pertama kali mau diajak tour gak bisa tidur,” katanya. Meski badan sudah mulai berasa pegal, mata ngantuk, tapi tetap tak bisa tidur.

Dia berusaha tidur sekuat tenaga, dzikir, hitung mundur, murojaah, sampai minum obat flu, hampir semua sia-sia. Padahal, jam 2 dini hari sudah harus berangkat mendaki ke puncak. Ia baru terlelap setelah Pukul 22.00. Dan, ajibnya, dua jam kemudian Pracoyo terbangun karena mendengar suara di tenda sebelah sedang menelepon istrinya.

“Dok, gua naik gak ya? Tidur dua jam doang,” tanya Pracoyo ke Dokter Mahe. “Ya terserah ente Pak. Kalau fisik dirasa kuat, naik. Kalau merasa gak fit, gak usah,” katanya menasehati.

Belum puas dengan jawaban itu, Pracoyo ke teman satu tenda. “Kita coba aja Pak. Gak kuat, gak usah lanjut,” kata Agung. Bip Opay dan Deni selalu tour guide memberi semangat. “Harus dicoba Pak!”.

Baiklah, Maka, sekitar pukul 02.30 tim mulai mengucap “Bismillah..” mengawali pendakian. Dini hari itu, kabut berhembus. Dingin menusuk, dan angin terasa kuat sekali terpaannya. Baju tiga rangkap, celana dua rangkap, plus buff penutup wajah dan kupluk, tetap saja dingin ini menyelubungi badan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Dyan Putra

Tags

Rekomendasi

Terkini

X