JAKARTA INSIDER – Beberapa waktu terakhir fenomena perjokian guru besar mencuat ke hadapan publik. Praktik tersebut diduga terjadi di sejumlah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
Kabar tentang perjokian guru besar pertama kali terungkap dalam laporan investigasi salah satu media nasional beberapa waktu lalu, dimana dalam laporan itu disebutkan perjokian dilakukan dengan sangat terencana.
Yang memprihatinkan, praktik perjokian guru besar ini melibatkan orang dalam perguruan tinggi.
Baca Juga: Alasan Fraksi PKS menolak penetapan ONH 2023, belum mencerminkan rasa keadilan
Bahkan, demi melangsungkan praktik perjokian guru besar ini, ada perguruan tinggi yang sampai membentuk tim khusus untuk menyiapkan artikel karya ilmiah untuk diterbitkan di sejumlah jurnal Internasional. Tim khusus ini diisi oleh sejumlah dosen senior sebagai penulis karya ilmiah, meski tidak berkontribusi secara aktif.
Nah, bagi siapapun yang ingin menggunakan jasa perjokian guru besar harus menyiapkan fulus dalam jumlah besar, hingga puluhan juta rupiah.
Fenomena praktik perjokian guru besar ini mengundang keprihatinan banyak kalangan, tak terkecuali bagi anggota Komisi X DPR RI Zainuddin Maliki.
Baca Juga: Sah! Ongkos Naik Haji 2023 ditetapkan sebesar Rp 49,8 Juta, semua fraksi setuju kecuali PKS
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya ini mengatakan, pembuatan karya ilmiah, sebagai syarat memperoleh gelar guru besar, seharusnya berlandaskan pada kompetensi dan integritas yang bisa dipertanggungjawabkan.
Zainuddin lebih lanjut mengatakan, kasus perjokian ini mengingatkannya pada buku The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia (Munculnya Kapitalisme Semu di Asia Tenggara) yang ditulis oleh Kunio Yoshihara.
Dirinya menjelaskan kapitalisme semu adalah perilaku pelaku bisnis yang menumpuk-numpuk kekayaan yang didasarkan pada jaringan kroni yang dibangun dengan kalangan para birokrat.
Politisi Fraksi PAN itu menyebut, perjokian yang dilakukan sejumlah akademisi dalam pembuatan karya ilmiah adalah mirip dengan kapitalisme semu.
“Negeri ini (sebenarnya) membutuhkan sarjana-sarjana yang autentik. Bukan mereka berusaha mengejar gelar akademis dengan cara-cara permisif, yang tidak didasarkan kepada moralitas intelektual dan budaya akademik yang kuat,” ungkap Zainuddin Maliki dalam keterangannya melansir dpr.go.id.