Keduanya sepakat dengan pandangan Sukarno. Haji Syudjak sendiri menyebut tabir memang tidak diperlukan dalam rapat Muhammadiyah, karena Kiai Ahmad Dahlan pun berpendapat demikian.
Protes Sukarno terhadap masalah tabir karena Sukarno menaruh harapan besar agar Muhammadiyah berhasil mengangkat umat dari pandangan kolot yang membelenggu untuk maju.
Baca Juga: Ketua PP Muhammadiyah minta perbedaan penetapan 1 Syawal jangan ‘digoreng’ jadi sumber perpecahan
Pada wawancara dengan koresponden Surat Kabar Antara yang dimuat di Surat Kabar Pandji Islam tahun itu, Sukarno berkata:
“… Saya adalah murid dari Historische School van Marx. Hal tabir itu saya pandang historisch pula, zuiver onpersoonlijk (bukan hal personal). Tampaknya seperti soal kecil, soal kain yang remeh. Tapi pada hakekatnya, soal mahabesar dan mahapenting, soal yang mengenai segenap maatsschappelijke positie (posisi sosial) kaum perempuan. Saya ulangi: tabir ialah simbol dari perbudakan kaum perempuan! Meniadakan perbudakan itu adalah pula satu historische plicht (tugas sejarah)!”
Tak cukup dengan uraian dari Haji Syudjak yang dikenal sebagai periwayat KH. Ahmad Dahlan, Sukarno meminta ketegasan soal hukum Islam dan pandangan Muhammadiyah ke tokoh Muhammadiyah lain yang juga sahabatnya, Kiai Haji Mas Mansur.
Baca Juga: Gempa maut Turki tewaskan 100 orang, Eropa heboh peringati akan terjadi Tsunami besar
Dalam pandangannya Sukarno menganggap perintah Allah menundukkan pandangan (ghaddul bashar) sudah cukup sebagai pedoman dalam relasi muamalah laki-laki dan perempuan sehingga tidak perlu tambahan seperti tabir yang justru membuat perempuan terkungkung.***
Artikel Terkait
Perbedaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam Fiqih
Ahmad Dahlan, kyai yang tak latah dirikan parpol. Mampu belokkan sejarah dengan menjamurnya Muhammadiyah
Ngebut saat mengendarai ambulans untuk antar jenazah. Begini hukumnya dalam Islam
BREAKING NEWS! PP Muhammadiyah resmi umumkan Lebaran 2023 jatuh pada 21 April. Potensi beda dengan pemerintah
Ketua PP Muhammadiyah minta perbedaan penetapan 1 Syawal jangan ‘digoreng’ jadi sumber perpecahan