Habib Husein meninggal dunia dalam usia relatif muda, belum sampai 40 tahun. Ia wafat pada 24 Juni 1756.
Masih menurut Haji Maswi, sejarah penamaan Masjid Luar Batang adalah saat hendak dimakamkannya Habib Husein. Kala itu, ketika akan dimakamkan di Tanah Abang, lokasi pemakaman untuk orang pendatang, saat sampai di lokasi pemakaman, jenazah Habib Husein tak ada di dalam keranda (kurung batang).
“Sejarah Masjid Luar Batang ini tidak terlepas dari sejarah beliau waktu mau dimakamkan, jasadnya enggak ada di kurung batang. Biasanya kan umumnya pendatang dikuburkan di Tanah Abang, begitu dibawa ke sana enggak ada mayatnya, balik lagi ke sini (Luar Batang), memang sih itu di luar nalar manusia,” kata dia.
Kejadian ini berulang sampai tiga kali. Keranda mayat yang dibawa ke makam Tanah Abang tidak berisi, karena jenazah Habib Husein berada di luar keranda atau batang. Hingga akhirnya, semua berinisiatif untuk memakamkan Habib Husein di Luar Batang, tepat di tempat dia pernah tinggal dahulu.
“Itu (makam Habib Husein) atas hadiah pemberian Jenderal Belanda dulu waktu Habib Husein ditawarkan hadiah, beliau mintanya ini, saya minta tanah ini yang ada di lingkungan ini (Luar Batang),” terang Maswi.
Ketika tanah itu diberikan, Habib Husein pun membangun surau atau musholla yang juga menjadi kamar tempat tinggalnya. Di situ pula menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.
Lama kelamaan, surau tersebut yang juga menjadi makam Habib Husein dibangun menjadi Masjid Luar Batang. Sebelumnya, nama Masjid Luar Batang adalah Masjid An Nur. Kini An Nur dipakai menjadi nama Taman Pendidikan AlQuran (TPA).
Maswi menceritakan, Masjid Luar Batang sudah direnovasi tiga kali. Terakhir, pada 1991 zaman Gubernur Wiyogo Admodarminto yang melebarkan masjid, memasukkan aliran air PAM, dan kemudian meresmikan masjid. Lalu Gubernur Fauzi Bowo membuatkan dua buah menara di samping kanan kiri Masjid Luar Batang.
Kini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan bangunan Masjid Luar Batang menjadi cagar budaya.***