JAKARTA INSIDER - Inilah temuan dan analisis fakta yang didapat Komnas HAM dari persidangan pembunuhan dan mutilasi, di sidang Pengadilan Militer III/19 Jayapura.
Pembunuhan empat korban warga di Kabupaten Mimika melibatkan oknum anggota TNI.
Dari hasil pantauan Komnas HAM, sidang dapat dihadiri dan diikuti oleh keluarga korban dan masyarakat secara langsung.
Dijaga ketat aparat pengamanan dari Kepolisian dan TNI, sayangnya proses persidangan tidak berjalan efektif.
Hal ini karena minimnya kesiapan perangkat pengadilan.
Baca Juga: Waspada! 3 shio ini diramal akan alami apes di Tahun Kelinci Air
Menurut Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam keterangan di Jakarta, Sabtu, (21/1/2023), pemeriksaan saksi pelaku sipil yang dihadirkan melalui daring menjadi tidak efektif.
"Karena permasalahan jaringan internet, namun hal itu berbeda dengan saksi dari keluarga korban yang bersedia hadir dari Kabupaten Mimika ke Jayapura guna memberikan kesaksiannya secara langsung," ujar Atnike.
Selain soal jaringan yang tidak kondusif sehingga pemeriksaan barang bukti dilakukan secara daring menjadi tidak efektif, Komnas HAM juga menilai rang sidang kurang proporsional untuk mengakomodasi jumlah keluarga korban dan masyarakat.
Baca Juga: Persija Jakarta resmi dikenakan denda oleh Komdis PSSI
Padahal kasus ini menarik perhatian sehingga banyak yang ingin mengikuti jalannya sidang.
Menurut Atnike, proses peradilan mengabaikan aksesibilitas bagi keluarga untuk mengikuti seluruh tahapan persidangan.
Terpisahnya proses peradilan menurut dia sangat tidak efisien secara waktu dan biaya, khususnya bagi keluarga yang diperiksa sebagai saksi.
Proses pertanggungjawaban pidana tidak maksimal karena proses hukum para terdakwa dari anggota militer dan sipil diadili secara terpisah, saksi pelaku sipil juga tidak dapat dihadirkan secara langsung dalam persidangan terdakwa anggota TNI.
Selain itu, tersangka sipil hingga saat ini belum menjalani proses persidangan melalui pengadilan umum dan informasi terakhir berkas perkara masih di pihak Kejaksaan Negeri Timika.
Dijelaskan Atnike, keluarga korban tidak puas dengan konstruksi dakwaan Oditurat Militer Tinggi Makassar terhadap terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki.
Karena menempatkan Pasal 480 KUHP sebagai dakwaan premier, Pasal 365 KUHP sebagai dakwaan pertama subsidair, sedangkan Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan pertama lebih subsidair.
Hal itu berimplikasi pada putusan yang sangat ringan bagi pelaku, sehingga kasus serupa dimungkinkan dapat terulang kembali.
Keluarga dan pengacara korban menilai proses persidangan terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki terkesan dilakukan maraton, padahal proses tahapan persidangan harus memberikan waktu yang cukup agar seluruh fakta dapat diuji dengan detail.
Artikel Terkait
Pelaku pembunuhan mayat perempuan berselimut putih akhirnya berhasil ditangkap
Polisi tangkap tiga orang terduga pelaku pembunuhan mayat bertato badut di Duri Kosambi, Cengkareng
Terawangan Miyan dan Furi soal shio kelinci dan air: Hati hati waspada, ada keluarga artis alami pembunuhan!
Tinjau TKP pembunuhan Brigadir Yosua, pihak berperkara tak diperbolehkan bertanya tanya
JPU sebut Kuat Ma'ruf berbelit belit dan tak menyesali perbuatannya ikut rencana pembunuhan Brigadir Yosua
Pelaku mutilasi di Bekasi incar harta korban untuk main trading