JAKARTA INSIDER - Waisak, sebuah perayaan penting bagi umat Buddha di seluruh dunia, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi dan keyakinan agama ini.
Di Indonesia, peringatan Waisak memiliki sejarah yang panjang dan makna yang mendalam.
Peringatan Waisak pertama kali diadakan di Indonesia pada tahun 1953 di Candi Agung Borobudur, yang digagas oleh Anagarika Tee Boan An, yang kemudian menjadi Maha Biksu Ashin Jinarakitha.
Bhante Ashin, sebagai pelopor kebangkitan agama Buddha di Indonesia, telah berperan penting dalam menyebarkan Buddha Dharma ke seluruh penjuru negeri.
Melalui dedikasinya yang tanpa lelah, agama Buddha menjadi agama yang diakui secara resmi oleh negara, bahkan hingga dijadikan hari libur nasional melalui Keppres Nomor 3 tahun 1983.
Baca Juga: Tidak hanya hidup sekali, inilah penjelasan reinkarnasi menurut buddhisme
Tahun ini, seperti biasa, peringatan Waisak di Indonesia dirayakan dengan berbagai tema yang berbeda oleh kelompok organisasi Buddhis yang ada.
Namun, ada satu hal yang tak boleh terlupakan: makna sejati dari Waisak.
Waisak memperingati tiga peristiwa penting dalam kehidupan Siddhartha Gautama, pendiri agama Buddha, yaitu kelahirannya, keberhasilannya menjadi Samma Sambuddha, dan kemangkatannya.
Kelahiran Siddhartha Gautama membawa sukacita bagi ayahnya, Raja Sudhodana, dan ibunya, Ratu Mahamaya.
Namun, seorang pertapa bernama Asita memberikan makna yang lebih dalam.
Baca Juga: Cerita Inspiratif: Rejeki, Ikhtiar, dan Keikhlasan dalam Perjalanan bersama Pak Andy dari Blue Bird
Asita merasakan kegembiraan karena seorang calon Buddha telah lahir di dunia, tetapi juga menangis karena dia tidak akan memiliki kesempatan untuk mendengarkan ajaran dari seorang Buddha.
Sebagai umat Buddha, kita harus merenungkan betapa beruntungnya kita dapat mengenal ajaran Buddha melalui kelahiran Siddhartha Gautama dan memanfaatkan kesempatan ini untuk mencapai keselamatan absolut.