JAKARTA INSIDER - Setiap datangnya bulan Muharram, jutaan umat Islam di seluruh dunia mengenang salah satu peristiwa paling memilukan dan penuh pelajaran dalam sejarah Islam Tragedi Karbala.
Peristiwa ini bukan hanya soal peperangan dan kematian, tetapi tentang prinsip, keadilan, dan keteguhan hati seorang cucu Nabi dalam mempertahankan kebenaran, meski harus berhadapan dengan kekuasaan zalim.
Latar Belakang Sejarah
Tragedi Karbala terjadi pada tanggal 10 Muharram 61 Hijriyah (680 Masehi) di padang tandus Karbala, wilayah Irak.
Sayyidina Hussain bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW dan putra dari Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah, memimpin sekelompok kecil keluarganya dan pengikut setianya melawan pasukan besar yang dikirim oleh Yazid bin Muawiyah, penguasa Dinasti Umayyah.
Yazid menuntut baiat (sumpah setia) dari Hussain. Namun Hussain menolaknya karena menganggap kekuasaan Yazid sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran Islam yang sejati.
Baca Juga: Waduh! Agen Rahasia Ukraina Mulai Menyusup Ke Negara Nato Melalui Turki, Rusia Mulai Terancam?
Bagi Hussain, kekuasaan tidak boleh diberikan kepada pemimpin yang zalim, meskipun taruhannya adalah nyawa.
Perjalanan Menuju Karbala
Sayyidina Hussain meninggalkan Madinah menuju Kufah setelah menerima banyak surat dari penduduk Kufah yang menginginkan kepemimpinannya.
Baca Juga: Operasi Darat Masih Berlangsung di Gaza, 400 Tentara Israel Tewas
Namun, situasi berubah drastis saat ia dan rombongannya tiba di Karbala.
Jalur air mereka diputus, mereka dikepung, dan akhirnya berhadapan langsung dengan ribuan pasukan musuh.