JAKARTA INSIDER - Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, telah kembali menunjukkan penolakan mereka terhadap kebijakan Full Day School.
Perspektif dan pertimbangan yang melatarbelakangi penolakan ini melibatkan berbagai aspek, termasuk regulasi, beban kerja guru, serta dampak sosiologis dan yuridis.
Dari segi regulasi, NU mengacu pada Undang-undang Pasal 51 UU Sisdiknas.
Baca Juga: PKB dan PKS bersatu, Aktivis GP Ansor: Hanya karena ambisi kuasa, NU dan PKS dipaksa menikah
Mereka berpendapat bahwa kebijakan Full Day School bertentangan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah yang diatur dalam undang-undang tersebut.
NU menegaskan bahwa satuan pendidikan seharusnya memiliki otonomi untuk mengembangkan model pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan sekolah masing-masing.
Selanjutnya, NU juga merujuk pada Pasal 35 UU tentang Guru dan Dosen yang mengatur beban kerja guru.
Baca Juga: Anies dan Muhaimin bersatu, akademisi anggap ini sebagai lambang persatuan Muhammadiyah dan NU
Menurut pasal tersebut, beban kerja guru seharusnya antara 24 hingga 40 jam tatap muka dalam satu minggu.
Kebijakan Full Day School dengan delapan jam belajar di sekolah berpotensi melebihi batasan ini, yang menjadi salah satu alasan penolakan NU.
Dari sudut pandang sosiologis, NU berpendapat bahwa Full Day School berpotensi mengganggu pengajaran pendidikan karakter dan pendidikan keagamaan yang biasanya diberikan di madrasah diniyah setelah sekolah umum.
Baca Juga: Anies-Muhaimin, gabungan kuat NU dan PKS menuju kemenangan Pilpres 2024
Ini menciptakan kekhawatiran bahwa pendidikan karakter moderat yang menjadi fokus NU akan terancam.
Secara yuridis, NU merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang mencabut Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Lima Hari Kerja.