Terbukti sejak tahun-tahun awal republik, jika kedua kekuatan ini bentrok, akan ada masalah politik yang serius.
Jika kekuatan Islam mengabaikan kaum nasionalis atau sebaliknya, tidak ada pemerintahan yang akan menikmati stabilitas.
Situasi akan menjadi lebih buruk jika salah satu dari keduanya berkuasa dan menindas yang lain.
Meminjam istilah Miqdad Husein (2001), sejak rezim Orde Baru hingga 1990-an, negara berada dalam kondisi pseudostabilitas. Orde Baru yang cenderung mengesampingkan umat Islam berubah menjadi rezim yang sangat represif. Konflik-konflik berdarah dengan mudah meletus, menghancurkan dinamisme demokrasi yang digembar-gemborkan oleh para pemegang kekuasaan saat itu.
Setelah tahun 1990-an dan seterusnya terjadi perubahan ketika kekuatan politik Islam mulai menjadi pusat perhatian. Ironisnya, kekuatan politik Islam cenderung hanya menjadi seremoni kekuasaan.
Pengalaman tersebut mengajarkan bahwa tidak ada yang baik dari dua posisi yang secara substantif mengabaikan realitas politik dalam negeri. Keduanya sama-sama menciptakan masalah dan gagal memberikan kontribusi yang konstruktif bagi pembangunan politik Indonesia.
Karena itu, sekali lagi, koalisasi dan kolaborasi Muslim-Nasionalis (PPP-PDIP) adalah keniscayaan ideal bagi stabilitas politik saat ini dan ke depan. Terlebih, dibandingkan partai Islam lainnya, PPP memiliki akar sejarah yang kokoh di kalangan muslim tradisionalis karena dibentuk melalui gabungan NU, Serikat Islam, Tarbiyah Islamiyah, dan Parmusi.***
Artikel Terkait
Sah, PPP usung Ganjar Pranowo sebagai Capres di Pilpres 2024
Pengamat politik: Mahfud MD potensial jadi Cawapres Ganjar, jika elite parpol anggap penegakan hukum penting
Politisi PAN: Kemungkinan bentuk koalisi dengan PDIP, usung Ganjar dan Erick jadi pasangan Capres-Cawapres
Sosok Cawapres untuk Ganjar Pranowo Capres PDIP, akan jadi rebutan Parpol, pengamat politik ungkap fakta ini..
Tolak pinangan Ganjar Pranowo jadi Cawapres, Ridwan Kamil ternyata takut sosok ini