Pada 1950, Mbah Moen berangkat ke Mekkah bersama kakeknya, KH Ahmad bin Syu'aib, untuk belajar dengan seorang ulama di sana, di antaranya Sayyid Alawi al-Maliki dan Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, selama dua tahun.
Setelah itu, Mbah Moen kembali ke Tanah Air dan lanjut belajar ke beberapa ulama di Pulau Jawa, seperti Kiai Baidhowi, Kiai Ma'shum Lasem, dan Kiai Bisri Musthofa.
Menjadi politisi sekaligus kiai
Pada sekitar 1965, Mbah Moen kembali ke Sarang dan mendirikan Pesantren al-Anwar, yang diterima dengan sangat baik oleh masyarakat sekitar.
Selain merawat pesantrennya, Mbah Moen mulai masuk dunia politik pada 1971, di mana ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk wilayah Rembang sampai 1978.
Baca Juga: Legenda 7 hantu Jepang yang dikenal paling seram dan sudah lama populer di negara tersebut
Pada 1987, Mbah Moen menjadi anggota MPR RI utusan Jawa Tengah sampai 1999. Selain disibukkan dengan tugas MPR, Mbah Moen juga aktif dalam Nahdlatul Ulama (NU) dan sempat menjabat sebagai Ketua Syuriah di organisasi tersebut.
Pada 1995 hingga 1999, Mbah Moen juga aktif dalam organisasi partai dengan menjadi Ketua MPP Partai Persatuan Pembangunan, dan Ketua Majelsi Syari'ah PPP sejak 2004.
Setelah masa jabatannya selesai, ia fokus mengurus pondok pesantrennya sampai tutup usia.
Wafat
Maimun Zubair atau Mbah Moen dipanggil Sang Khaliq pada 6 Agustus 2019 ketika sedang beribadah haji ke Mekkah. Konon, Mbah Moen sudah mengetahui bahwa ia akan meninggal.
Pasalnya, sewaktu menginap di salah satu hotel, ia dikunjungi oleh jemaah haji asal Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, bernama Sodikun.
Dalam pertemuan itu, Mbah Moen mengaku pada Sodikun bahwa ia akan tinggal di Mekkah sampai tanggal 5. Padahal, ritual ibadah haji baru berakhir pada tanggal belasan.