2. Masa Kolonial Belanda (Abad ke-19)
Ketika Belanda mulai menguasai wilayah Riau, pacu jalur turut terdokumentasi dalam catatan kolonial.
Perlombaan jalur bahkan sering diadakan dalam rangka memperingati hari-hari penting kerajaan maupun perayaan yang ditetapkan pemerintah kolonial, misalnya ulang tahun Ratu Belanda.
Pada fase ini, pacu jalur berkembang dari sekadar tradisi lokal menjadi tontonan massal yang menarik perhatian luas.
3. Era Kemerdekaan Indonesia (1945 – 1970-an)
Setelah Indonesia merdeka, pacu jalur tetap bertahan sebagai salah satu acara kebudayaan rakyat.
Pemerintah daerah Kuantan Singingi bersama masyarakat menjadikan pacu jalur sebagai pesta tahunan yang digelar setiap bulan Agustus untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Tradisi ini memperkuat posisi pacu jalur sebagai warisan budaya yang memiliki nilai kebangsaan selain nilai kedaerahan.
4. Era Kontemporer (1980-an – Sekarang)
Memasuki dekade 1980-an hingga kini, pacu jalur semakin populer dan dianggap sebagai salah satu ikon budaya Riau.
Pemerintah daerah mengemas pacu jalur sebagai atraksi wisata budaya yang mendatangkan wisatawan domestik maupun internasional.
Tahun 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan pacu jalur sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia, memperkuat posisi hukumnya sebagai budaya asli bangsa.
Makna Budaya Pacu Jalur
Pacu Jalur bukan sekadar perlombaan mendayung perahu panjang, melainkan tradisi yang memiliki dimensi sosial, budaya, dan spiritual.
1. Simbol Gotong Royong: Pembuatan jalur dilakukan secara kolektif oleh satu kampung. Dari penebangan kayu di hutan, pengerjaan perahu, hingga persiapan perlombaan, semuanya dikerjakan bersama-sama.