Di depan restoran, berdiri patung Raminten sebagai penanda ikonik sekaligus magnet selfie para wisatawan.
Ciri khas The House of Raminten juga terletak pada detail yang menyatu secara estetis dan filosofis:
-
Dekorasi Interior yang memadukan rumah Jawa klasik dengan sentuhan kontemporer.
-
Busana Pegawai yang mengenakan pakaian adat seperti kebaya, jarik, surjan, hingga blangkon.
-
Area Lesehan yang menghidupkan tradisi makan bersama secara santai ala masyarakat Jawa.
Baca Juga: Santri Ponpes Metal jadi korban salah sasaran penculikan, gara-gara utang sabu orang lain
Tak hanya atmosfer, daya tarik Raminten juga muncul dari menunya yang kreatif dan sarat identitas. Hamzah secara cermat merancang makanan dan minuman yang merepresentasikan kekayaan rasa tradisional dengan penyajian yang modern:
-
Sego Kucing eksklusif, Sego Gudeg, Ayam Koteka, Bebek Lombok Ijo, hingga Maheso Selo Gromo menjadi favorit pelanggan.
-
Untuk minuman, ada Es Kacang Merah, Wedang Uwuh, Teh Purwoceng, hingga minuman dengan nama nyentrik seperti Es Perawan Tancep.
Namun, lebih dari itu semua, Hamzah menjadikan Raminten sebagai ruang inklusif.
"Saya ingin semua orang bisa datang ke Raminten—mahasiswa, petani, turis, siapa pun,” ucapnya dalam salah satu wawancara terdahulu. Baginya, kuliner adalah medium efektif untuk menyampaikan budaya ke semua lapisan masyarakat.
Baca Juga: 10 Tips untuk melindungi Informasi Pribadi dan Keuangan, yuk amankan data anda di Era Digital!
Wafatnya Hamzah meninggalkan kekosongan di dunia seni dan kuliner Yogyakarta. Namun warisan yang ia tinggalkan—mulai dari restoran tematik hingga semangat pelestarian budaya—akan terus hidup dan menjadi inspirasi generasi selanjutnya.
Lewat Raminten, Hamzah telah membuktikan bahwa budaya tak hanya bisa dinikmati, tapi juga bisa dijual dengan rasa hormat dan kreativitas tinggi. Dan kini, sang tokoh pun kembali ke haribaan keabadian, meninggalkan jejak yang tak lekang oleh waktu.***