“Raminten bukan sekadar restoran. Itu ruang budaya,” demikian sering disampaikan Hamzah dalam berbagai kesempatan.
Ia ingin pelanggan tidak hanya makan, tetapi juga merasakan nilai-nilai tradisi dan estetika Jawa.
Setiap elemen di restoran—dari busana pelayan, musik latar gamelan, hingga menu dan penyajian makanan—dirancang untuk memberikan pengalaman yang menyeluruh.
Selain mendirikan restoran, Hamzah juga merupakan anak bungsu dari pendiri Mirota Batik Malioboro, salah satu pusat oleh-oleh dan batik paling terkenal di Yogyakarta.
Baca Juga: 10 Tips untuk melindungi Informasi Pribadi dan Keuangan, yuk amankan data anda di Era Digital!
Ia tumbuh di lingkungan yang sarat nilai budaya dan wirausaha, dan berhasil menyatukan keduanya dalam karyanya yang kini dikenang banyak orang.
Kepergian Hamzah menjadi kehilangan besar bagi Yogyakarta, terutama bagi para seniman, pelaku pariwisata, dan masyarakat yang mencintai nilai-nilai budaya Jawa.
Warisan yang ia tinggalkan tidak hanya dalam bentuk bangunan atau usaha, tetapi juga dalam kenangan, pengaruh, dan semangat untuk terus menghidupkan kebudayaan lokal.
Kini, karakter Raminten akan selalu hidup dalam ingatan publik sebagai simbol keunikan, kehangatan, dan kreativitas seorang Hamzah Sulaiman.
Meski ia telah tiada, jejak dan semangatnya akan tetap menyala dalam denyut budaya Jogja yang ia cintai seumur hidupnya.***
Artikel Terkait
Peresmian Cagar Budaya baru di Depok: Melestarikan warisan sejarah lokal
10 Destinasi wisata yang paling populer di Maldives, dari bangunan Muslim bersejarah hingga Pulau mewah
Festival Pencak Silat 2025: Ajang pelestarian warisan budaya nusantara
Penjaga warung legendaris Puncak Lawu berpulang, Mbok Yem: Saya sudah ingin istirahat
Mengenang Mbok Yem, legenda Gunung Lawu yang jadi simbol keteguhan pendaki