Tulis Jan. S Aritonang, Hamka mengkritik 'Lebaran-Natal' itu sebagai hal yang sinkretik dan memaksa kedua belah pihak, yakni umat Kristiani dan non-Kristiani.
Polemik bermula ketika MUI yang proses pendiriannya sarat dengan nuansa politis pemerintah ternyata berani mengabaikan kebijakan pemerintah sendiri, yaitu menolak pencabutan Fatwa Perayaan Natal Bersama.
Baca Juga: Ilmu parenting, belajar dari Al Khansa ibunda para mujahid sejati
MUI saat itu memang dibentuk dengan salah satu fungsinya yaitu sebagai mediator antara ulama dan pemerintah untuk menerjemahkan kebijakan pemerintah mengenai kebijakan pembangunan nasional.
Buya Hamka dilantik sebagai Ketua Umum MUI pertama pada tanggal 27 Juli 1975.
Kritik terhadap ‘perayaan doa’ yang muncul sejak 1968 itu terus terjadi hingga MUI berdiri pada 1975. Pasalnya, di televisi juga ditampilkan para pejabat beragama muslim yang ikut menyalakan lilin dan berdiri menyanyikan lagu Natal.
Penolakan MUI juga dilatarbelakangi atas pelaksanaan perayaan Natal yang semula hanya umat Katolik dan Protestan, akhirnya melibatkan pemeluk agama lain dalam kepanitiaan dan pelaksanaannya.
Padahal dalam panduan di kalangan militer yang dikeluarkan oleh Dinas Pembinaan Mental TNI-AD pada November 1980 terkait Instruksi tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Besar Keagamaan, dijelaskan bahwa bagi agama agama Kristen Protestan, penyalaan lilin, pujian atau nyanyian dan paduan suara adalah termasuk dari ibadah.
Untuk membentengi akidah umat, Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981 mengeluarkan fatwa Perayaan Natal Bersama tentang haramnya hukum bagi umat Islam untuk melaksanakan dan mengikuti perayaan natal karena termasuk dalam perkara syubhat.
Fatwa di atas ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI, yaitu K.H.M. Syukri Ghozali dan Sekretaris Drs. H. Masudi.
Salah satu pimpinan MUI, K.H Hasan Basri menjelaskan fatwa itu untuk menjaga kerukunan hidup beragama dan sekaligus memurnikan akidah masing-masing agama.
Fatwa ini kemudian ‘bocor’ menjadi konsumsi publik setelah dimuat Buletin Majelis Ulama No. 3/April 1981.
Buletin berjumlah 300 ekslempar bagi internal Majelis Ulama ternyata juga beredar pada selain pengurus MUI.