JAKARTA INSIDER - Penetapan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto telah menimbulkan kontroversi terkait demokrasi dan kepatuhan pada konstitusi.
Meskipun secara formal sah menurut KPU, banyak pihak menilai hal tersebut mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai pencalonan Gibran akan memunculkan pergunjingan sepanjang masa.
“Secara formal tetap legitimate terpilih sebagai pasangan presiden dan wakil presiden. Tapi akan selalu jadi pergunjingan sepanjang masa soal proses pencapresannya lantaran putusan MK yang kontroversial,” terang Adi di Jakarta, Selasa (14/11).
Baca Juga: Asah Digital 3.0: Menyiapkan generasi emas untuk Pemilu 2024
Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) mengungkap soal netralitas aparatur negara.
Menurutnya majunya Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto tidak punya dampak signifikan. Kendati demikian, posisi sebagai anak presiden dinilai jadi pertimbangan.
“Majunya Gibran sebenarnya tidak punya dampak apapun dalam konteks pemilihan, tetapi Gibran akan punya peran signifikan karena dia putera presiden,” ujar Dedi.
Menurutnya, presiden kemudian punya seperangkat alat kekuasaan, militer, polisi, bahkan penyelenggara pemilu.
Baca Juga: Jejak sejarah Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta hingga menjadi pusat pendidikan unggulan
Beberapa saat lalu presiden juga menunjukkan kekuatan dengan mengumpulkan semua pejabat, walikota, bupati, gubernur se-Indonesia.
"Bisa dibayangkan kalau pertemuan kemarin ada tawar-menawar kontrak bagi keberlanjutan masing-masing penjabat untuk lanjut di tahun selanjutnya. Maka besar kemungkinan mereka harus membayar kontribusi terhadap presiden dan salah satunya tentu adalah membuat dukungan pada Gibran Rakabuming Raka,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Setara Institute Ismail Hasani mengungkapkan adanya upaya normalisasi pelanggaran konstitusi dalam pencalonan Gibran.
Lembaga itu menyebut beberapa lembaga survei melakukan kampanye publik dengan menggambarkan mayoritas responden menganggap majunya Gibran bukan politik dinasti, sejumlah pakar hukum juga memberikan justifikasi dengan melakukan normalisasi pelanggaran konstitusi.