politika

Legitimasi pencalonan Gibran sebagai Cawapres tercoreng putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi

Jumat, 10 November 2023 | 21:20 WIB
Ketakstabilan politik di tengah pencalonan kontroversial: Risiko pelanggaran pemilu dan ketidaknetralan aparat. Simak analisis eksklusif. (Instagram @prabowo)

JAKARTA INSIDER - Pergolakan dalam dunia politik Indonesia semakin memanas dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, terutama setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023.

Profesor Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harjanti, menyoroti cacat legitimasi yang melekat pada pencalonan tersebut.

Menurut Prof Susi, legitimasi dalam konteks pencalonan harus dinilai dari berbagai perspektif, termasuk politik dan hukum.

Baca Juga: Netralitas alat negara di Pemilu 2024 diuji dengan upaya dinasti politik

Dia menunjukkan keberatan terhadap dasar hukum pencalonan Gibran yang didasarkan pada putusan MK yang mencapai kontroversi setelah majelis kehormatan MK membuktikan pelanggaran oleh Anwar Usman.

"Dengan begitu banyak persoalan yang dihadapi putusan 90, kemudian putusan itu dipertanyakan, apalagi dengan putusan MKMK bahwa ketua MK diberhentikan dari jabatannya. Ini semakin menunjukkan apakah putusan 90 menjadi dasar hukum yang kuat bagi pencalonan Gibran?" tegas Prof Susi.

Sementara itu, Herry Mendrofa, Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Action (CISA), berpendapat bahwa pasangan calon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka membuka peluang terjadinya pelanggaran lebih lanjut.

Baca Juga: Intervensi dinasti politik Jokowi ancam fondasi demokrasi Indonesia

Ia menganggap bahwa pasangan ini memiliki banyak kelemahan, terutama dari segi etika dan proses pencalonan yang dipenuhi pro-kontra.

"Pasangan calon ini banyak minusnya sebenarnya, dari sudut pandang etik, manuver, tentunya yang bisa dikategorikan pelanggaran pemilu," ujarnya.

Mengenai manuver inkonstitusional, Herry menyatakan keprihatinannya terhadap legitimasi pemimpin yang dipertanyakan.

Baca Juga: Pembuktian netralitas Jokowi: Tindakan nyata diperlukan, bukan sekadar omongan

Legitimasi yang tercemar dapat memicu pelanggaran etika dan konstitusi, menciptakan ketidakstabilan dalam proses pemilu.

Khawatir akan adanya penggunaan otoritas untuk menutupi kesalahan dan menimbulkan pelanggaran selanjutnya, Herry menyatakan, "Kita meyakini hal itu bisa saja terjadi karena dari awal sudah diwarnai hal itu."

Halaman:

Tags

Terkini