JAKARTA INSIDER - Kaesang Pangarep, pemimpin Partai Solidaritas Indonesia (PSI), telah menjadi sorotan sejak awal kepemimpinannya.
Dalam waktu singkat setelah dilantik, Kaesang mengambil langkah-langkah politik yang cepat dan terlihat agresif.
Dia memimpin rapat koordinasi dengan jajaran petinggi partai, bergerak aktif menemui simpul-simpul relawan Jokowi, melakukan blusukan di wilayah padat penduduk, berdialog dengan petinggi organisasi masyarakat, dan bahkan berinisiatif membangun rekonsiliasi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan).
Namun, yang menarik adalah sikap santunnya ketika bertemu dengan Puan Maharani, sebuah tindakan yang populer di kalangan generasi Z saat berhadapan dengan yang lebih tua.
Selain upayanya memperluas aliansi di luar partai, Kaesang juga tampaknya berfokus pada konsolidasi internal PSI sambil memperkuat branding partai sebagai wakil kaum muda.
PSI yang sebelumnya terlihat agresif dan cenderung konfrontatif dalam berpolitik, kini mencoba mengadopsi narasi populer di kalangan kaum muda: politik kegembiraan.
Sejak hari pertama dilantik, Kaesang telah menunjukkan niatnya untuk membangun jembatan dengan aliansi-aliansi yang memiliki potensi.
Namun, pendapat Saidiman Ahmad, seorang pengamat politik, adalah bahwa apa yang dilakukan Kaesang sebenarnya bukan sesuatu yang benar-benar baru.
Baca Juga: Ganjar Pranowo bertemu dengan mantan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj: Insyaallah jadi presiden
Kaesang seolah hanya menggambarkan karakteristik politik generasi yang mencoba diwakilinya, yakni generasi Z.
Generasi pemilih yang lebih muda ini memiliki akses informasi yang lebih baik, pergaulan yang lebih kosmopolit, lebih terbuka, toleran, lebih objektif dalam menilai, dan cenderung tidak percaya begitu saja pada teori konspirasi.
Mereka bisa dengan mudah berinteraksi dengan berbagai kelompok sosial dan lebih responsif terhadap gagasan dari berbagai pihak.
Hal ini berbeda dengan generasi yang lebih tua, seperti generasi X atau bahkan sebagian millenial atau generasi Y.