Orang pribumi saat itu menanyakan kepada orang Belanda itu bagaimana membangun jembatan kuat, awet, dan kokoh.
“Bagaimana cara yang ampuh agar kami bisa membangun jembatan yang kuat dan awet?” tanya pribumi.
“Dengan ini,” jawab salah seorang meneer Belanda sembari menunjuk jari telunjuk ke kepala orang yang bertanya.
Dikarenakan pribumi saat itu kebanyakan kurang pengetahuan dan hanya percaya tahayul, maka warga berasumsi bahwa untuk membangun jembatan yang kuat dan kokok adalah dengan tumbal kepala manusia atau manusia itu sendiri.
Baca Juga: 3 Benda yang jadi tempat tinggal jin atau makhluk halus, salah satunya cermin
Tentu saja tak ada orang yang mau kepalanya dijadikan tumbal proyek pembangunan jembatan dll saat itu.
Maka muncullah cerita tentang orang yang diculik dan dipotong kepalanya sebagai tumbal proyek.
Kala itu banyak anak-anak yang diculik dan dipenggal kepalanya untuk tumbal proyek.
Padahal bagi meneer Belanda itu, arti dari menunjuk kepala adalah menggunakan “akal dan pikiran” dan bukan dengan potong kepala.
Atau bisa diartikan menggunakan isi kepala (kecerdasan) untuk membangun jembatan yang kuat dan kokoh.
Alangkah mirisnya zaman di masa itu yang tampaknya tahayul lebih berkembang daripada kecerdasan pengetahuan.
Baca Juga: 9 Kegunaan garam kasar di dunia spiritual, salah satunya bisa tangkal sihir, santet, dan guna-guna
Di Indonesia sendiri, cerita ini selalu menarik untuk dikulik dan dibahas lebih lanjut.