Kekuasaan atas Kashmir berarti akses ke pegunungan Himalaya, sumber air dari Sungai Indus, serta posisi pengawasan terhadap negara tetangga.
Ini menjelaskan mengapa kedua negara enggan melepaskannya, bahkan jika itu berarti melanjutkan konflik yang tak berujung.
Tak jarang, kawasan ini menjadi ajang unjuk kekuatan, uji coba doktrin militer, hingga ladang perang terbuka seperti yang terjadi dalam Perang Kargil (1999).
Bahkan di masa damai pun, militerisasi tinggi tetap menjadi realitas sehari-hari bagi penduduk Kashmir.
Dimensi Kemanusiaan: Rakyat yang Terjepit
Yang paling menderita dalam konflik ini bukanlah politisi di New Delhi atau Islamabad, melainkan rakyat Kashmir sendiri baik yang tinggal di wilayah India (Jammu & Kashmir dan Ladakh), maupun di wilayah yang dikuasai Pakistan (Azad Kashmir dan Gilgit-Baltistan).
Mereka hidup dalam bayang-bayang militerisasi, penindasan, pelanggaran HAM, serta ketakpastian identitas politik.
Sejak pencabutan Pasal 370 oleh pemerintah India pada 2019, wilayah Jammu & Kashmir kehilangan status otonominya, memicu protes dan memperdalam ketegangan.
Sementara di wilayah yang dikuasai Pakistan, kebebasan berekspresi dan pembangunan infrastruktur masih tertinggal jauh.
Rakyat di kedua sisi LoC (Line of Control) menjadi korban narasi nasionalis yang tak pernah memberi ruang pada suara mereka sendiri.
Penutup: Solusi Tak Pernah Sederhana
Konflik Kashmir tidak bisa diselesaikan hanya dengan peta, pasukan, atau resolusi PBB yang usang.
Ini adalah pertarungan sejarah, identitas, dan trauma yang terus hidup.
Solusi sejati hanya akan datang ketika rakyat Kashmir diberi suara dalam menentukan nasib mereka, dan kedua negara melepaskan ego sejarah demi masa depan yang damai.***