Dan proses pembentukan undang-undang masih dapat dilaksanakan secara biasa atau normal sebagaimana syarat yang ditentukan ditentukan dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 dan Putusan MK 138/PUU-VII/2009.
Baca Juga: 46 Lagu dangdut hits 2022 versi Youtube, dijamin akan bergoyang
Selain itu, perlu adanya penjelasan secara ilmiah (scientific) dengan menggunakan berbagai medium pemerintah secara partisipatif yang meluas, menyentuh tiap-tiap lapisan masyarakat bilamana ada gejala akan menghadapi situasi genting dan memaksa.
Artinya, tidak menjadi tafsir subjektif Presiden beserta Kabinet saja.
Kedua, sebagai perwakilan konstituen DPR harus mendengar dan bersikap memihak terhadap rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat dapat memberi persetujuan atau tidak atas PERPPU dalam persidangan DPR yang berikutnya, sesuai dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa "Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut".
Artinya, DPR harus betul-betul mendengar dan mempertimbangkan suara masyarakat atas terbitnya PERPPU a quo sebagai pemegang mandat para konstituen.
Baca Juga: Kasihan Arie Kriting rumahnya diteror, Ernest Prakasa singgung etika wartawan: Pimrednya kebangetan!
DPR juga harus mengambil kesepakatan untuk tidak menyetujui PERPPU a quo sebagai bentuk perimbangan kekuasaan (checks and balances) dan koreksi secara politis, demi mencegah keberlanjutan tindakan inkonstitusional.
Yakni membenarkan penerbitan PERPPU a quo sebagai tindak lanjut Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 dan solusi atas adanya kegentingan yang memaksa yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.
Ketiga, keterbukaan dan pendokumentasian pembentukan peraturan perundang-undangan yang buruk.
Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dikarenakan proses pembentukan undang-undang tidak adanya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Dengan adanya PERPPU a quo Presiden bertindak tidak menghiraukan isi putusan MK dan melanjutkan praktik buruk legislasi.
Paling tidak publik dapat melihat dan membaca isi draf PERPPU a quo, kenyataannya publik sulit mengakses PERPPU a quo, bahkan pada Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) lembaga-lembaga pemerintahan yang merupakan kebiasaan buruk yang berulang dalam proses legislasi Indonesia.