“Selama ini, hak korban atas restitusi sering diabaikan karena pertimbangan situasi pelaku. Ini tidak seharusnya terjadi,” ungkap Sri kepada media usai sidang.
Menurutnya, pengadilan seharusnya menghitung terlebih dahulu kerugian yang dialami korban, lalu menentukan nominal restitusi secara objektif. Persoalan apakah pelaku mampu membayar atau tidak seharusnya dibahas di tahap eksekusi, bukan dijadikan alasan sejak awal untuk menggugurkan hak korban.
“Hitung dulu kerugiannya. Kalau nanti memang terdakwa tidak mampu membayar, itu urusan belakangan. Jangan sampai hak korban yang dikorbankan,” tegasnya.
Baca Juga: Simak di sini! 4 poin krusial dalam RUU Polri yang dianggap jadi ancaman bagi kebebasan rakyat
Sri juga menilai, pelaksanaan restitusi justru berfungsi sebagai efek jera kepada pelaku dan mempertegas posisi korban dalam sistem peradilan pidana.
Ia berharap ke depan pertimbangan-pertimbangan semacam ini tidak terulang lagi dalam perkara sejenis, terutama dalam sidang di lingkungan peradilan militer.
Meski menghormati putusan yang telah diambil oleh Pengadilan Militer, LPSK berkomitmen untuk terus berkoordinasi dengan oditur militer demi memperjuangkan hak restitusi keluarga korban yang seharusnya dipenuhi sebagai bentuk tanggung jawab hukum dan moral.
Restitusi Beda dengan Santunan
Dalam pernyataannya, Sri Nurherwati juga menegaskan bahwa restitusi berbeda dengan santunan. Jika santunan merupakan bentuk empati atau belasungkawa yang diberikan pihak lain, maka restitusi adalah hak korban yang wajib dipenuhi oleh pelaku kejahatan.
Sebelumnya diketahui, TNI AL telah memberikan santunan sebesar Rp100 juta kepada keluarga Ilyas dan Rp35 juta kepada keluarga Ramli.
Namun, LPSK menegaskan bahwa hal tersebut tidak menghapus kewajiban restitusi dari pelaku yang telah menyebabkan korban menderita secara fisik, psikologis, maupun ekonomi.
Baca Juga: Tanggapi usulan Kemenkumham hapus SKCK, Polri: Permintaan justru dari masyarakat sendiri
“Restitusi ini diatur dalam undang-undang. Jadi berbeda dengan santunan. Restitusi adalah kewajiban pelaku terhadap korban,” tandas Sri.
Kasus penembakan yang menewaskan bos rental mobil dan melibatkan tiga anggota TNI AL ini menjadi perhatian banyak pihak, terutama terkait bagaimana peradilan militer menangani hak-hak korban.
LPSK menegaskan pentingnya mewujudkan keadilan bagi korban dengan tidak menjadikan kondisi terdakwa sebagai alasan utama dalam pengambilan keputusan restitusi.