JAKARTA INSIDER - Situasi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, telah menciptakan perdebatan panjang antara pemerintah, investor, dan masyarakat setempat.
Penggusuran masyarakat dan pemukiman di pulau ini untuk memberi jalan bagi proyek investasi besar telah memicu kritik keras dari berbagai pihak.
Proyek ini bermula sejak tahun 2001 ketika pemerintah Kota Batam merencanakan pengembangan Kawasan Rempang, didorong oleh Perda Kota Batam Nomor 17 Tahun 2001 tentang Kepariwisataan.
Baca Juga: Aksi penolakan relokasi kampung tua Rempang, petugas intimidasi wartawan Mediakepri Group
Investor nasional dan internasional, termasuk PT MEG yang dimiliki oleh Tommy Winata, dipilih untuk mengelola dan mengembangkan kawasan selama 30 tahun, yang dapat diperpanjang hingga 80 tahun.
Meskipun proyek tersebut memiliki potensi besar untuk menarik investasi, hal ini mengakibatkan penggusuran masyarakat, termasuk pemukiman warga asli dan kampung tua yang sudah ada sejak 1834.
Konflik semakin meruncing ketika pada Juli 2023, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan Xinyi Group dari Cina untuk investasi sebesar 11,5 Miliar USD dalam pembangunan pabrik kaca dan panel surya sebagai bagian dari konsep Rempang Eco-City.
Baca Juga: Konflik Pulau Rempang, Partai Buruh suarakan keadilan agraria untuk rakyat
Penggusuran ini telah menuai kritik dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) bersama Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Mereka menilai bahwa penggusuran ini adalah bukti kegagalan pemerintah dalam menjalankan mandat konstitusi Indonesia yang mengamanatkan perlindungan terhadap seluruh rakyat dan penggunaan sumber daya alam untuk kesejahteraan umum.
Kritik juga ditujukan kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, yang mengklaim bahwa "tanah di Pulau Rempang itu belum pernah digarap."
Baca Juga: Muhammadiyah meninjau pemanfaatan digitalisasi untuk menguatkan kedaulatan aplikasi di Indonesia
LHKP dan MHH PP Muhammadiyah menegaskan bahwa masyarakat di sana telah ada sejak tahun 1834.
Dalam pernyataan sikap mereka, LHKP dan MHH PP Muhammadiyah mengajukan beberapa tuntutan, termasuk pengevaluasian dan pencabutan proyek Rempang Eco-City sebagai Proyek Strategis Nasional, pembebasan warga yang ditahan, dan menjamin hak-hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup dan tinggal di tanah mereka.
Artikel Terkait
Proyek pengembangan Pulau Rempang masuk dalam daftar program strategis nasional
Muhammadiyah meninjau pemanfaatan digitalisasi untuk menguatkan kedaulatan aplikasi di Indonesia
Konflik Pulau Rempang, Partai Buruh suarakan keadilan agraria untuk rakyat
Aksi penolakan relokasi kampung tua Rempang, petugas intimidasi wartawan Mediakepri Group