Baca Juga: Jenazah Ulama Yusuf Qardhawy akan dishalatkan setelah Duhur, pada hari Selasa (27/09/2022)
Nah, ketika ada satu atau dua netizen antipati, apriori terus diredam dengan cara-cara tidak simpatik, maka justru kian memantik sentiment negatif. Ujungnya justru menjadi boomerang.
3. Hadapi dengan simpati. Coba perhatikan yang dilakukan oleh Indomie yang mendapatkan review negatif dari seorang nitizen karena mendapatkan satu bungkus Indomie yang tidak lengkap bumbunya.
Apa yang dilakukan produsen? Pihak managemen langsung mengirim sekardus Indomie ke rumah nitizen itu! Wow! Akhirnya trending positif.
4. Dulu, konsumen sangat percaya dengan perusahaan besar, nama besar dan ketokohan alias konsep public trust. Sekarang sudah banyak bergeser.
Sekarang orang berbelanja tidak peduli dengan nama penjual atau produsen, tetapi social rating yang menentukan.
Selama produk Anda mendapat rating bagus di social media, Google Map atau market place, maka penjualan akan tetap bagus.
Baca Juga: Deretan fakta mengenai Syech Zaki ternyata bukan orang sembarangan. Ini dia profilnya...
Konsumen memegang reputasi-kredibilitas dari sesama pemakai, bukan lagi opini yang dibangun produsen.
Ya salah satunya, karena persepsi relevansi pengguna produk, makin bersifat personalized, customized, individualized.
5. Jika mendapatkan brand evangelist yang memuji produk setinggi langit, Anda sebagai produsen tetaplah jangan lengah.
Baca Juga: Pasca pandemi, orang Indonesia banyak mencari tempat bersantai melepas stress
Suatu saat, jika bisa jadi akan mendapatkan brand terrorist yang memberi nilai jelek.
Saat itu terjadi, maka tidak perlu panik. Be Cool. Yang harus Anda lakukan cukup dengan mendinginkan, bukan bikin panas.
Coba, andai Esteh Indonesia, secara suka rela mengirim aneka produk lain ke rumah pengkiritiknya, apa yang akan terjadi? Pasti puji-pujian yang akan melambung.