Baca Juga: NationalHigh Jakarta School (NHJS): Membentuk masa depan melalui pendidikan unggulan
Namun, Sultan Hamengkubuwono tetap memiliki hati yang baik dan menghormati mereka meskipun telah berkhianat. "Tinggallah di Yogja dan hiduplah bersama rakyat Yogja. Tetapi maaf, saya mencabut hak anda untuk memiliki tanah," ujar Sultan saat itu.
Inilah alasan mengapa hingga saat ini pengusaha Tionghoa tidak diperbolehkan memiliki tanah di berbagai pusat bisnis di DIY. Mereka hanya diberi Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai.
Peraturan ini juga diperkuat oleh surat instruksi yang dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada tahun 1975 kepada bupati dan walikota untuk tidak memberikan hak milik tanah kepada warga non-pribumi. Surat ini masih berlaku.
Surat instruksi ini memungkinkan warga keturunan memiliki tanah dengan status Hak Guna Bangunan (HGB), bukan Hak Milik (SHM). Jika tanah tersebut sebelumnya dimiliki oleh penduduk pribumi dan kemudian dibeli oleh warga keturunan, maka setelah jangka waktu tertentu, status kepemilikannya akan dialihkan kepada negara.
Baca Juga: IPEKA Integrated Christian School: Menyongsong masa depan berkualitas dengan nilai-nilai Kristen
Beberapa pengusaha dan tokoh Tionghoa telah beberapa kali menggugat kebijakan ini dan mengadu kepada presiden dengan alasan bahwa ini adalah tindakan diskriminatif dan tidak adil.
Namun, Mahkamah Agung (MA) tetap tidak mengabulkan gugatan tersebut karena ini merupakan bagian dari keistimewaan DIY.
Tentu saja, bagi warga DIY yang usianya di atas 50 tahun, ini adalah bagian dari catatan sejarah yang tidak akan pernah terlupakan. Begitu juga ketika mengenang peran almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX yang sangat dicintai oleh rakyatnya.
Beliau adalah Raja Kesultanan Yogyakarta, Gubernur DIY, pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI, seorang pejuang, dan pahlawan nasional. Beliau juga merupakan ayah dari Sri Sultan HB X yang saat ini memerintah.
Almarhum Sri Sultan HB IX dikenal sebagai pemimpin yang sangat merakyat dan dicintai oleh rakyatnya. Sejarah mencatat bahwa beliau memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan RI dan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan tersebut. Bahkan, beliau bersama dengan Bung Karno berinisiatif memindahkan ibukota ke Yogyakarta untuk mempertahankan kemerdekaan, dan beliau juga membangun Istana Negara di Yogyakarta yang masih berdiri hingga sekarang di seberang Malioboro, yaitu Benteng Vredeburg.
Sejarawan mencatat bahwa beliau beberapa kali ditawari jabatan presiden dan memiliki kesempatan menjadi presiden, tetapi beliau menolaknya. Beliau hanya menerima jabatan Wakil Presiden di era Soeharto untuk satu periode saja, dan setelah itu tidak lagi mencalonkan diri.
Kecintaan warga DIY kepada almarhum sangat tinggi. Ketika beliau meninggal pada tahun 1988, jalan dari Keraton hingga Imogiri Bantul (tempat pemakaman) dipadati oleh para pelayat. Jumlah pelayat diperkirakan mencapai 500.000 orang.
Bahkan, Guinness Book of International Records mencatat peristiwa ini sebagai jumlah pelayat terbanyak di dunia yang pernah ada. Koran dan media nasional utama menjadikannya topik utama: "Perginya pemimpin besar, pembela rakyat sejati."