Dari tiga nama tersebut, nomor urut satu yang diusung PKS untuk dipasangkan dengan capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Baca Juga: Gagal ginjal akut terus meningkat, Anggota DPR meminta pemerintah gencarkan edukasi publik
empat terjadi tarik menarik di internal koalisi Gerindra, PKS, dan Partai Demokrat soal siapa yang paling layak mendampingi Prabowo Subianto.
PKS mengajukan Ahmad Heryawan sementara Partai Demokrat mengajukan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Anggota Majelis Syuro PKS, Tifatul Sembiring, ketika itu mengatakan PKS mengancam akan menarik dukungan jika Partai Gerindra tidak mengabulkan permintaan PKS untuk memasangkan kadernya dengan Prabowo Subianto di Pilpres 2019.
"Cawapres dari PKS. Itu enggak bisa ditawar-tawar. Cawapres harus dari PKS,” kata Tifatul Sembiring.
Begitu pula dengan Partai Demokrat. Setelah memutuskan bergabung ke poros Gerindra dan PKS, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto mengatakan keputusan mengusung AHY merupakan harga mati ke poros mana pun Partai Demokrat berlabuh.
Ia mengklaim, AHY memiliki elektabilitas tertinggi di antara bakal cawapres lainnya.
Pada akhirnya, bukan Ahmad Heryawan dan AHY yang dipilih Prabowo Subianto sebagai Cawapres 2019. Prabowo Subianto memilih Sandiaga Uno, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Deklarasi calon presiden dan wakil presiden dilakukan di Kediaman Prabowo Subianto di Kertanegara, Jakarta, pada Agustus 2018.
"Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional dan Partai Gerakan Indonesia Raya telah memutuskan dan memberi kepercayaan kepada Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno untuk maju sebagai presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia untuk masa bakti 2019-2024," ujar Prabowo Subianto saat deklarasi Capres dan Cawapres 2019.
Prabowo Subianto mengatakan, Sandiaga Uno merupakan solusi yang diambilnya. PKS dan PAN menerima keputusan tersebut.