Lebih lanjut, Bella menegaskan bahwa adanya “jaminan” meski diikuti dengan frasa “tidak bertentangan dengan undang-undang” pada akhirnya membatasi partisipasi masyarakat khususnya yang terdampak, karena menutup ruang untuk peninjauan pemanfaatan ruang.
Kedua, agenda pertambangan dalam Perubahan UU Minerba masih mengedepankan pada eksploitasi dibanding perbaikan tata kelola pertambangan
Dalam draf perubahannya, revisi UU Minerba belum merespon urgensi pengawasan dan penegakan hukum terhadap perizinan pertambangan mineral dan batubara yang telah terbit, baik yang telah beroperasi maupun izin-izin yang tidak aktif.
Hingga tahun 2024, terdapat lebih dari 4000 IUP di Indonesia. Banyak pelanggaran tanggung jawab izin dan pengelolaan lingkungan hidup yang terjadi di wilayah izin pertambangan, seperti pelanggaran terhadap kewajiban pascatambang, di mana masih terdapat lebih dari 1000 lubang tambang yang belum dipulihkan.
DPR seharusnya fokus menggencarkan dan memfasilitasi proses peninjauan kepatuhan dan penegakan hukum terhadap izin-izin pertambangan dalam perubahan UU Minerba. Pemberian izin-izin baru tanpa adanya peningkatan dukungan terhadap penegakan hukum di sektor pertambangan semakin memperparah dampak pertambangan mineral dan batubara.
Terlebih lagi, Pasal 51, 51A, 51B, dan Pasal 104C perubahan UU Minerba secara eksplisit memberikan dukungan untuk hilirisasi mineral logam melalui penugasan eksplorasi dan pemberian WIUP secara lelang dan prioritas, tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan hidup.
Padahal, hingga tahun 2020, setidaknya terdapat 339 IUP/KK aktif untuk pertambangan nikel dengan luas wilayah pertambangan mencapai 836.000 hektar.
Eksploitasi nikel skala besar dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan berbagai eksternalitas di wilayah pusat pertambangan nikel seperti memburuknya kualitas air dan sanitasi di sekitar wilayah tambang.
“Memberikan WIUP secara prioritas untuk hilirisasi tanpa mempertimbangkan lingkungan hidup dan tanpa evaluasi peninjauan terhadap riwayat ketercapaian tujuan hilirisasi serta kepatuhan perusahaan, hanya akan membuka pintu untuk eksploitasi lebih besar dan memperburuk tata kelola pertambangan di Indonesia.
Pengaturan ini semakin rawan disalahgunakan, dan menutup transparansi yang seharusnya menjadi dasar dalam pengelolaan sumber daya alam,” tambah Syaharani, Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL.
Ketiga, Perubahan UU Minerba masih membuka ruang bagi kriminalisasi masyarakat di sektor pertambangan.
Hingga 2024, setidaknya terdapat delapan kasus kriminalisasi melalui Pasal 162 terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pasal ini sering disalahgunakan untuk mempidanakan masyarakat dan menghalangi mereka dalam memperjuangkan haknya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada lingkungan.
Keempat, proses Perubahan UU Minerba tidak sesuai dengan tata cara penyusunan undang-undang.
Proses penyusunan dan pembahasan perubahan UU Minerba dilakukan secara tertutup dan bertentangan dengan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menegaskan bahwa penyusunan peraturan perundang-undangan haruslah memenuhi tiga prasyarat, yaitu: hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban yang diberikan.