JAKARTA INSIDER - Undang Undang Cipta Kerja sebenarnya adalah amanat dari Mahkamah Konstitusi.
Hanya saja, UU tersebut harus memenuhi syarat pembentukan undang undang.
Dan harus dipenuhi usai terbitnya putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 yakni dengan memperbaiki dari UU tersebut.
Hal ini disebut oleh Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Profesor Aidul Fitriciada Azhari, pada Sabtu (7/1/2023), dalam diskusi Menakar Konstitusionalitas Perppu Cipta Kerja.
Menurut Aidul, yang jadi masalah adalah DPR belum menunjukkan kinerjanya untuk menyelesaikan kewajiban memperbaiki UU Ciptaker ini.
Baca Juga: Drama 2 pelatih asal Korea, Shin Tae-yong dan Park Hang-seo tak berjabat tangan seusai pertandingan
"Makanya diambil alih oleh Presiden Joko Widodo," sebut Aidul.
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi itu lebih baik jika dibandingkan membiarkan proses berjalan begitu saja tanpa kejelasan dari DPR.
"Sementara situasi DPR juga menghadapi tahun politik yang membuat pecah konsentrasi antara pemilu dan kewajiban legislatifnya, maka tidak ada pilihan, bagi Pak Jokowi untuk membuat perppu ini," ujarnya.
Hal senada juga diungkap Menko Polhukam Mahfud MD, bahwa dalam konteks UU Ciptaker sesuai vonis MK No. 9-/PUU-XVIII/2020 yang oleh MK dinyatakan inkonstitusional bersyarat, maka inkonstitusional bersyarat untuk UU Ciptaker.
"Itu artinya berlaku asal diperbaiki sampai waktu tertentu yakni dua tahun. Perbaikan itu bisa dilakukan dengan membuat UU baru, atau dengan membuat peraturan yang setingkat UU. Perppu itu setingkat UU, jadi secara hukum sah."
Menurut Mahfud, adapun alasan kegentingan atau kemendesakannya adalah perkembangan geopolitik, seperti terkait Perang Rusia-Ukraina, ancaman inflasi, stagflasi, perlunya kepastian bagi investor, dan lain-lain.
Dan berdasar teori manapun, lanjut Mahfud, penentuan keadaan genting itu merupakan hak subyektif Presiden yang nanti akan dijelaskan dlm proses legislasi pada masa sidang DPR berikutnya.