JAKARTA INSIDER - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) meminta KPK membuka Posko Korban Hakim Agung.
Hal ini dipinta PBHI, terkait penetapan dua hakim agung tersangka korupsi, yaitu Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh.
"KPK harus membuka 'posko pengaduan' khusus korban putusan hakim untuk menggali informasi, fakta, dan bukti produk dari hakim pengadilan maupun hakim agung yang terindikasi korupsi melalui pertimbangan dan amar putusan," sebut Ketua PBHI, Julius Ibrani dalam keterangan persnya, Kamis (17/11/2022).
Menurut Julius, hal mana tidak ter-'akomodasi' di Badan Pengawasan MA dan Komisi Yudisial hanya melalui mekanisme 'koordinasi'.
Menurut Julius, putusan menjadi produk hukum bermasalah yang penuh kejanggalan dalam pertimbangan hakim dan amarnya.
Sehingga apabila putusan hakim didasarkan pada 'pesanan' dari perbuatan korupsi (suap), tidak akan terwujud cita-cita keadilan dan kemanfaatan, bukan hanya kepastian hukum saja.
"Seorang hakim apalagi hakim agung, tidak hanya memeriksa dan memutus 1-2 putusan saja, bisa ratusan. Penting untuk memeriksa kembali rekam jejak pertimbangan dan amar putusan hakim yang terindikasi kasus korupsi untuk melihat secara mendalam apakah ada indikasi korupsi yang lain," jelas Julius.
Berdasarkan catatan PBHI, hakim agung Gazalba Saleh adalah salah satu anggota majelis kasasi yang mendiskon vonis dari 9 tahun menjadi 5 tahun dalam kasus korupsi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edy Prabowo.
Edy dihukum karena menerima suap Rp 24,6 miliar dan USD 77 ribu.
Julius menilai, sebenarnya KPK juga menjadi 'korban' dalam diskon vonis ini.
Bila perlu KPK gali kembali informasi, fakta dan bukti dari seluruh pihak yang beperkara, baik advokat maupun prinsipalnya.
Selain dapat dilakukan pengembangan pada dugaan kasus korupsi lainnya, terbuka juga peluang bagi para 'korban putusan' hakim korup untuk mendapatkan bukti-bukti baru yang dapat dijadikan dasar bagi upaya hukum luar biasa, seperti peninjauan kembali (PK).