- Pembacaan Identitas AG
KPAI mengutip General Comment Nomor 24 tahun 2019 dari Komite Hak-hak Anak yang menyebutkan bahwa putusan di persidangan terbuka, namun identitas anak harus tetap dirahasiakan, sebagaimana diatur dalam pasal 61 UU SPPA.
KPAI menegaskan, perlindungan identitas anak dijaga serius untuk menghindarkan stigma dan labelling pada anak, karena fokus peradilan pidana adalah koreksi terhadap perbuatan anak bukan untuk balas dendam.
- Aktivitas Seksual AG Dibacakan
KPAI juga menyoroti pertimbangan hakim yang dibacakan dalam sidang terbuka. Hakim menyebutkan aktivitas seksual anak dengan Mario (terdakwa dewasa) cenderung rinci. Pembacaan yang cenderung rinci itu bertentangan dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yakni berperilaku arif dan bijaksana.
KPAI menegaskan bahwa hakim diharapkan memiliki sikap tenggang rasa yang tinggi, hati-hati, dan memperhitungkan akibat dari tindakannya. Dampak dari pembacaan tersebut adalah meningkatnya frekuensi labelling pada anak.
Baca Juga: Waspada palsu, Ida Dayak ingatkan warga tidak beli minyak bintang melalui olshop
- Pemeriksaan Psikolog Forensik
Berdasarkan pengawasan KPAI pada saat persidangan dan dikonfirmasi oleh kuasa hukum AG, bukti petunjuk berupa analisis pemeriksaan dari psikolog forensik terhadap AG tidak disampaikan di persidangan (nihil). Padahal sebelumnya AG telah diperiksa psikolog forensik sebanyak 3 (tiga) kali.
KPAI berpandangan bahwa hasil telaah psikologis anak menjadi penting, selain hasil penelitian kemasyarakatan (Litmas) Bapas, karena dua dokumen tersebut membantu aparat penegak hukum melihat kondisi psikis dan sosial anak secara utuh. Perbuatan anak tidak pernah bebas dari pengaruh di luar dirinya.
- Soal Vonis AG
KPAI menyampaikan bahwa perampasan kemerdekaan anak adalah upaya terakhir dan sesingkat mungkin (pasal 37 ayat B Konvensi Hak Anak). Data Mahkamah Agung tahun 2020, yang petik dari Peta Jalan Penguatan SPPA 2023-2027, menunjukkan 88,61 persen anak mendapatkan vonis pidana penjara.
Umur kurang dari 18 tahun adalah periode perkembangan kepribadian, hubungan emosional dengan sesama, kecakapan sosial dan pendidikan, serta talenta anak. Oleh karenanya, UU SPPA memberikan banyak pilihan lain dalam pidana pokok untuk perkara anak, dan menempatkan pidana penjara sebagai urutan terakhir.
Artinya, paradigma keadilan restoratif yang mendukung pemulihan anak harus digunakan dalam membuat putusan perkara. Penempatan AG di LPKS selama proses hukum telah tepat karena anak mendapatkan pendampingan psikososial oleh psikolog dan pekerja sosial.
Namun vonis AG berupa pidana penjara di LPKA justru menghambat keberlanjutan rehabilitasi psikososial anak. Karena keterbatasan sarana kamar anak perempuan dan belum adanya psikolog di LPKA.
- Keterbatasan Fasilitas LPKA/LPAS
KPAI melibat bahwa keterbatasan fasilitas LPKA/LPAS bagi anak perempuan berupa belum tersedia blok khusus, maupun petugas pengasuh serta ketiadaan psikolog anak berpotensi menambah beban mental anak.
Artikel Terkait
Telah sadar dari koma, David Ozora akan menjalani terapi Stem Cell untuk penyembuhan, apa itu?
David Ozora jalani fisioterapi, bisa melangkah tujuh kali sambil bawa dumbell
Diajak bukber usai fisioterapi David Ozora makan siomai, Jonathan: Mayapada udah kaya rumah bagi David
Dikawal Satudarah Maluku MC supaya aman, David Ozora akhirnya pulang ke rumah untuk pemulihan intensif
Biaya pengobatan David Ozora di RS capai Rp1 M, Keluarga ungkap fakta mengejutkan: Kita tidak open donasi!
David Ozora jalani perawatan di rumah, sudah mulai beraktivitas seperti biasa, bahkan melakukan ini