Tokoh utamanya adalah Franz von Liszt yang menekankan bahwa pidana memiliki fungsi pencegahan dan perlindungan masyarakat.
Menurut teori relatif, pemidanaan bukan semata-mata pembalasan, melainkan bertujuan:
1. Prevensi umum (general prevention): menakut-nakuti masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana.
2. Prevensi khusus (special prevention): mencegah pelaku mengulangi tindak pidana melalui pembinaan atau resosialisasi.
Dengan demikian, hukuman diarahkan bukan hanya pada masa lalu (perbuatan yang telah terjadi), tetapi juga masa depan (pencegahan).
Teori Gabungan (Verenigings Theorie)
Indonesia tidak secara kaku menganut salah satu teori saja.
Dalam praktik, sistem hukum pidana Indonesia cenderung menggunakan teori gabungan (verenigings theorie).
Teori ini mengakomodasi unsur pembalasan dari teori absolut sekaligus tujuan pencegahan dari teori relatif.
Hal ini tercermin dalam beberapa aspek:
KUHP lama (Wetboek van Strafrecht, WvS): berakar pada tradisi hukum Belanda yang sudah mengenal kombinasi fungsi pembalasan dan pencegahan.
RKUHP (2022): dalam Penjelasan Umum disebutkan bahwa pemidanaan bertujuan menegakkan keadilan dan melindungi masyarakat.
Dengan demikian, pemidanaan tidak semata pembalasan, melainkan juga berorientasi pada rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Putusan-putusan pengadilan: banyak hakim dalam pertimbangannya menekankan pada aspek keadilan (pembalasan) sekaligus kemanfaatan sosial (pencegahan dan pembinaan).
Dengan menggabungkan kedua teori tersebut, Indonesia berupaya menjaga keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
Artikel Terkait
Rekomendasi Hotel Budget Jakarta Pusat, Harga Mulai 300 Ribuan
Indigo atau Skizofrenia? Kenapa Banyak yang Lebih Suka Disebut Punya Kekuatan Gaib daripada Sakit Jiwa
Melihat Hal Gaib Bukan Istimewa, Itu Sakit Jiwa yang Perlu Ditangani!
TNI Turut Terjun Pada Aksi Demo di Gedung DPR RI Senayan, Polri Sebut Sudah Sesuai SOP
Dana Pensiun ASN di Taspen Terancam, Pemerintah Ingatkan Risiko Likuiditas