JAKARTA INSIDER - Kawin kontrak atau pernikahan dengan jangka waktu tertentu merupakan praktik yang kontroversial di Indonesia.
Meskipun sebagian pelaku menyatakan bahwa perjanjian tersebut sah secara adat atau pribadi, praktik ini menimbulkan persoalan dari segi hukum perdata, hukum agama, dan perlindungan hak asasi manusia, terutama terhadap perempuan.
Artikel ini akan mengulas bagaimana hukum perdata Indonesia memandang kawin kontrak, potensi pelanggaran hukum yang ditimbulkan, serta urgensi penguatan regulasi untuk mencegah penyalahgunaan praktik tersebut.
Baca Juga: Hurrem Sultan dalam Sorotan Sejarah: Asal Usul, Koneksi Yahudi, dan Tuduhan Zionis
1. Pendahuluan
Kawin kontrak merujuk pada bentuk pernikahan yang didasarkan atas perjanjian antara dua pihak untuk membatasi jangka waktu hubungan pernikahan.
Praktik ini sering terjadi di daerah wisata seperti Puncak (Bogor) atau Bali, dan umumnya melibatkan Warga Negara Asing (WNA) dengan perempuan lokal.
Kawin kontrak bukanlah istilah hukum resmi, namun praktik ini menjadi polemik karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pernikahan dalam hukum Indonesia, yang berdasarkan pada asas monogami, sakralitas, dan keberlangsungan rumah tangga.
Baca Juga: 10 Wanita Yahudi di Lingkaran Kesultanan Utsmaniyah: Jejak Awal Pengaruh Zionis?
2. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia
Perkawinan diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (jo. UU No. 16 Tahun 2019).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya Pasal 27 dan 28 yang mengatur soal perjanjian perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) untuk mereka yang beragama Islam.
Artikel Terkait
Song Young Kyu Meninggal Dunia, Ini Deretan Drakor Populer yang Dibintanginya
Dari Turki hingga Pakistan, Ini 15 Negara Pemilik Drone Militer Terbanyak
Minyak Goreng Palsu Beredar Bebas, Ini Cara Mengenalinya
10 Wanita Yahudi di Lingkaran Kesultanan Utsmaniyah: Jejak Awal Pengaruh Zionis?
Hurrem Sultan dalam Sorotan Sejarah: Asal Usul, Koneksi Yahudi, dan Tuduhan Zionis