JAKARTA INSIDER – Secara harfiah, quiet quitting artinya berhenti secara diam-diam.
Istilah quiet quitting cukup baru di kalangan pekerjaan di mana pekerja tidak benar-benar resign atau berhenti bekerja dari kantor, tapi mereka diam-diam berhenti mencurahkan kemampuan ekstra dalam bekerja.
Jadi dengan quiet quitting, kamu hanya bekerja secukupnya dan mengerjakan tugas sesuai jabatan, alias bekerja sesuai 'argo'.
Sederhananya, quiet quitting adalah kerja seperlunya anti pusing tujuh keliling.
Melihat maknanya, jelas bahwa quiet quitting berlawanan dengan hustle culture yang mendorong pekerja untuk lembur atau bekerja di luar job description utamanya. Tak jarang, prinsip kerja ini secara tak langsung memaksa karyawan untuk mendedikasikan diri guna mencapai kekayaan dan kemakmuran secepat mungkin.
Istilah hustle culture mengacu pada budaya kerja di mana karyawan mendorong diri mereka untuk mencapai kesuksesan. Fenomena hustle culture sendiri umumnya berlaku pada angkatan kerja dari generasi milenial dan gen Z.
Kembali ke quit quitting, di mana Anda hanya bekerja sesuai jobdesk saja, bekerja tidak berlebihan, bekerja tenggo saja.
Baca Juga: Meneropong 6 tren bisnis yang paling cuan di tahun 2023. Dropshipping hingga artificial intelligence
Melansir DBC.com, setidaknya ada 4 alasan penyebab quiet quitting terjadi.
- Gaji yang tidak sebanding dengan beban kerja
Salah satu hal terbesar pendorong Quiet Quitting adalah gaji mereka nggak sebanding dengan beban kerja yang wajib dipenuhi.
Sementara itu atasan mereka selalu menuntut dan memberi porsi kerja secara banyak, namun tidak memberikan imbalan ataupun bonus yang sesuai.
- Kurang apresiasi
Meski kamu udah menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik mungkin, tapi atasan kamu malah cuek bahkan cenderung nggak menghargai semua usaha kamu. Kondisi ini dapat merusak mental dan mengikis motivasi kamu serta memicu perubahan sikap dalam bekerja.