Misalnya, ketika perubahan politik tahun 1965 dari Orde Lama ke Orde Baru, banyak mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di universitas di Rusia ataupun PT di negara Eropa timur dan memilih tak pulang ke Tanah air.
Demikian juga pada tahun 1980an, ketika Menristek BJ Habibie mengirim ratusan remaja potensial untuk belajar ke luar negeri. Banyak para lulusan LN tersebut yang tak langsung pulang dan berkhidmat di dalam negeri. Mereka banyak yang memilih bekerja di berbagai perusahaan di AS.
Baca Juga: MIRIS! Setiap tahun 1.000 WNI usia produktif pindah jadi warga Singapura, ini penyebabnya
Demikian juga ketika Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) mengirimkan ribuan tenaga mudanya untuk dididik dalam berbagai disiplin ilmu. Mereka dikirim untuk menjadi ahli pesawat, ahli telekomunikasi, ahli kelautan, ahli satelit, dsb.
Namun dengan adanya restrukturisasi kebijakan BPIS, banyak para profesional tersebut yang menganggur. Kemudian mereka brain drain ke berbagai perusahaan di luar negeri.
Fenomena brain drain sekarang ini telah berevolusi. Tidak hanya sebagai diaspora Indonesia (orang Indonesia di perantauan) yang berstatus ilmuwan dan peneliti kelas atas. Tetapi juga kelompok diaspora yang memilih berkarir dan bekerja di berbagai sektor pekerjaan di perusahaan di luar negeri.
Baca Juga: Google merilis laporan resmi tentang agenda kebijakan untuk perkembangan AI yang bertanggung jawab
Dengan demikian urusan pemulangan ke Tanah Air, bukan hanya pertimbangan ketersediaaan perusahaan yang menawarkan gaji tinggi. Tetapi juga berkorelasi dengan tata nilai kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat di Tanah air.
Termasuk governance system yang menjungjung tinggi clean governance dengan sistem birokrasi yang bersih dan tidak koruptif.***