“Kalau ditanya apakah transaksinya besar? Tidak, masih kecil. Mayoritas tetap didominasi penggunaan dalam negeri,” tambahnya.
Ia juga menilai perhatian AS terhadap QRIS mungkin disebabkan oleh sifatnya yang murah, mudah, dan mampu digunakan lintas platform (interoperabilitas), yang membuat pemain besar seperti Visa dan Mastercard merasa terdesak.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa Indonesia tetap terbuka untuk kerja sama dengan semua pihak, termasuk perusahaan AS.
Baca Juga: Indonesia bersama dengan Estonia sepakat untuk mendukung resolusi perdamaian Ukraina dan Rusia
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), Steve Marta, menyebut kritik dari pemerintah AS terhadap sistem domestik seperti QRIS dan GPN sebagai bagian dari persaingan bisnis global.
Ia menilai tudingan tersebut tidak relevan, karena setiap negara berhak mengembangkan sistem pembayaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan nasionalnya.
“Ketika negara-negara mulai membangun sistem pembayaran nasionalnya, seperti QRIS dan GPN, itu bukan untuk membatasi, tapi untuk memperkuat kemandirian. Negara-negara ingin memiliki kontrol lebih terhadap sistem keuangan mereka,” kata Steve.
Steve melihat adanya perubahan tren global, di mana banyak negara mulai mengejar kedaulatan dalam sistem pembayaran agar tidak terus bergantung pada perusahaan asing. Menurutnya, ini adalah upaya untuk menyeimbangkan dominasi pemain global dengan kebutuhan lokal yang lebih spesifik.***