Namun, banyak proyek pengurangan kerugian karbon yang diklaim meragukan, bahkan salah dengan menggantikan upaya pengurangan emisi yang seharusnya dilakukan.
Konsep "nett zero" atau "carbon neutral" di atmosfer seringkali disalahgunakan.
Secara sederhana, perdagangan karbon adalah izin untuk terus melepaskan emisi, dan izin untuk melanggar Hak Asasi Manusia.
Industri Ekstraktif Sebagai Akar Krisis Iklim
Industri ekstraktif, yang bergantung pada ekstraksi sumber daya alam, menyumbang sebagian besar emisi gas rumah kaca global.
Sejak tahun 2000 hingga 2020, Indonesia sendiri melepaskan sekitar 24,7 juta giga ton emisi.
Sektor energi dan sektor kehutanan serta penggunaan lahan menjadi penyumbang terbesar emisi di Indonesia.
Sektor energi, khususnya pembangkit listrik tenaga uap batubara, menjadi penyumbang utama emisi.
Baca Juga: Kenaikan subsidi listrik sebagai upaya menurunkan emisi karbon, begini tanggapan politikus PDIP
Lambatnya Pengakuan Wilayah Adat dan Wilayah Kelola Rakyat
Pengelolaan yang buruk terhadap wilayah adat dan wilayah kelola rakyat juga menjadi akar masalah.
Lambatnya pengakuan hak rakyat atas wilayah adat dan kelola mereka menjadi tantangan besar.
Ini bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk mengakui dan melindungi hak ini, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013.
Industri ekstraktif seringkali merampas tanah dan menghancurkan hutan yang merupakan bagian integral dari keberlangsungan hidup rakyat adat dan masyarakat lokal.
Artikel Terkait
Kenaikan subsidi listrik sebagai upaya menurunkan emisi karbon, begini tanggapan politikus PDIP
Keren! Melalui implementasi panel surya, Bluebird mengaku siap reduksi 2.000 ton emisi karbon per tahun
Penerapan pajak karbon akan menjadi peluang bagi Indonesia untuk meraup keuntungan
Menteri Keuangan, Sri Mulyani terkena ISPA imbas polusi udara kota Jakarta yang hingga kini belum terpecahkan
Presiden Jokowi resmikan Bursa Karbon Indonesia: Kontribusi Indonesia dalam perang melawan perubahan iklim