Kecepatan informasi Polri, tandas Irjen Pol Midi, bukan semata persoalan teknologi, tetapi juga tingkat kepercayaan yang dimiliki publik terhadap sumbernya.
Polri tidak harus berbicara paling cepat, tetapi harus berbicara paling bisa dipercaya.
Selanjutnya, kamera secanggih apa pun tidak berguna jika fokusnya kabur. Begitu pun ilmu, jabatan, dan teknologi seorang perwira tak berarti kalau fokus moralnya goyah.
“Kita tidak bisa mengendalikan semua pemberitaan, tapi apa yang kita lakukan, dan itu akan selalu terekam.
Kekuatan Polri bukan terletak pada kemampuan mengontrol media, tetapi pada kemampuan membangun makna yang dipercaya publik,” ucapnya.
Lebih dalam, Ijen Pol Midi mengatakan bahwa kamera tidak punya hati, tetapi operatornya. Dan, dalam dunia kepolisian, operator itu adalah nurani.
“Kalau hati kita gelap, hasilnya suram. Kalau hati kita jernih, setiap tindakan akan tampak terang, bahkan tanpa kata,” tukasnya.
Irjen Pol Midi menegaskan filsafat kamera mengingatkan bahwa keindahan bukanlah hasil pencitraan, tetapi pantulan karakter.
Hakikat manajemen media yang presisi adalah memahami human optics yaitu bagaimana kejujuran bisa memantulkan keindahan, dan bagaimana empati bisa menenangkan pandangan publik.
Menutup pembekalannya, Irjen Pol Midi Siswoko menekankan saat ini setiap orang adalah jurnalis, setiap ponsel adalah kamera, dan setiap tindakan polisi adalah berita.
“Karena itu, jadilah perwira yang paham cara bekerja cahaya! Jangan bersembunyi dari kamera, tapi pastikan kamera mana pun menangkap karakter dan ketulusan kalian,” tegasnya.
Polri, tandasnya, harus fokus pada tugas, jujur dalam cahaya, dan konsisten membangun kepercayaan publik.
“Dan pada akhirnya, seperti dalam setiap karya fotografi yang baik, yang membuat gambar indah bukan alatnya, melainkan mata dan hati yang memotret,” pungkas Irjen Pol Midi Siswoko.
Jaga Ruh Tri Brata dan Catur Prasetya
Putut membuka paparannya dengan menggunakan kata-kata bijak tentang kebenaran yang diibaratkan seperti singa yang tidak perlu dibela.