“Begitulah media. Ia merekam, menyorot, menilai. Kadang adil, kadang tidak.
Tugas polisi memastikan dirinya tetap layak difoto dari sudut mana pun. Kamera hanya merekam cahaya.
Kalau yang kita pancarkan adalah integritas, maka hasilnya akan tetap terang, meski direkam dari ruang yang gelap,” tandasnya.
“Filsafat sebuah kamera mengajarkan kita bahwa gambar yang jernih lahir bukan karena alat yang hebat, tetapi karena sumber cahayanya murni,” imbuhnya.
Irjen Pol Midi Siswoko menyebutkan ada tiga unsur Filsafat Kamera dan Prinsip Manajemen Media Polri yang perlu dipahami.
Yakni, Lensa yang mewakili Perspektif, Aperture yang berarti Transparansi dan Kecepatan, serta Fokus yang berkaitan dengan Integritas dan Konsistensi.
Media dan publik punya lensa, begitu pun polisi punya lensa sendiri.
Masalah muncul karena polisi jarang berusaha memahami fokus orang lain.
Maka, manajemen media dimulai dari kemampuan memahami perspektif.
“Publik tidak melihat polisi sebagaimana polisi melihat dirinya, tetapi sebagaimana mereka mengalami polisi dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu, jagalah kejernihan lensa moral dan intelektual kita, agar masyarakat pun dapat melihat Polri sebagaimana mestinya,” ucapnya.
Aperture mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke sensor.
Terlalu tertutup, gambar gelap, terlalu terbuka silau.
“Begitu pula dengan komunikasi publik Polri. Kita harus tahu kapan membuka diri dan kapan menahan diri.
Transparansi tidak berarti membuka semua hal, tetapi memberi cukup cahaya agar publik tetap percaya,” katanya.