3. Colocation dengan AQMS di Duta Besar AS
Nafas Indonesia telah menjalankan colocation selama satu tahun dengan Air Quality Monitoring Stations (AQMS) yang berada di Duta Besar Amerika Serikat untuk kalibrasi data.
Pilihan ini diambil karena AQMS di Duta Besar AS merupakan salah satu opsi yang tersedia.
Selain itu, Nafas Indonesia telah aktif mengikuti berbagai workshop, seminar, dan acara terkait pemantauan kualitas udara untuk memastikan bahwa mereka mengikuti praktik terbaik, termasuk kalibrasi dan colocation, seperti yang telah dibuktikan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang memiliki ribuan sensor terpasang.
Jakubowski menekankan bahwa hanya dengan adanya data yang akurat, kita dapat mengatasi masalah polusi udara di Indonesia, dan Nafas Indonesia berharap dapat menjadi salah satu organisasi yang berkontribusi pada penurunan polusi udara di negara ini.
Tinjauan Respons Nafas Indonesia
Pernyataan Piotr Jakubowski membuktikan bahwa Nafas Indonesia tidak sembarangan dalam memilih alat sensor yang mereka gunakan.
Mereka telah bermitra dengan perusahaan terkemuka dan telah menjalani proses kalibrasi serta sertifikasi yang ketat.
Respons ini mungkin dapat meredakan keraguan yang muncul terkait akurasi data kualitas udara yang mereka sampaikan.
Baca Juga: Imbas dari polusi udara di kota Jakarta, klaim BPJS Kesehatan tembus menjadi Rp10 triliun
Opini Terkait
Sebelumnya, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta telah mengungkapkan keraguan terkait beberapa alat pengukur kualitas udara swasta yang tidak memiliki izin resmi.
DLH telah berkoordinasi dengan Polres Metro Jakarta Timur untuk menghentikan aktivitas ini dan menegaskan bahwa data yang dianggap akurat adalah yang berasal dari DLH karena sudah memiliki izin resmi.
Namun, Nafas Indonesia tetap mengklaim keandalan data mereka dan merujuk pada kerja sama mereka dengan Airly serta sertifikasi MCERTS dari UK.