“Indonesia ingin agar tarif masuk untuk produk ekspor utama seperti garmen, tekstil, alas kaki, dan furnitur bisa ditekan serendah mungkin,” katanya.
Fakta menunjukkan bahwa selama ini, produk Indonesia dikenai tarif yang lebih tinggi dibandingkan produk serupa dari negara ASEAN lainnya.
Meskipun AS sempat memberikan diskon tarif sementara sebesar 10 persen selama 90 hari, produk-produk seperti tekstil dan garmen tetap berada di bawah bayang-bayang tarif protektif sebesar 10 hingga 37 persen, yang jika ditambah diskon sementara, tetap menambah beban biaya ekspor Indonesia.
“Bayangkan saja, ada tarif tetap 10 persen, lalu ditambah tarif 10 persen lagi untuk jangka pendek, maka bisa jadi 20 persen.
Bahkan, kalau 37 persen, bisa melonjak jadi 47 persen totalnya. Ini jelas merugikan kami,” terang Airlangga.
Ia menegaskan bahwa kondisi ini tidak hanya memengaruhi harga jual di pasar AS, tetapi juga membebani pelaku usaha dan konsumen di dalam negeri.
Baca Juga: Dokter Syafril jadi tersangka pelecehan seksual, pernah ditonjok suami korban sebelum kasus mencuat
Karena itu, Indonesia berharap negosiasi ini bisa menghasilkan tarif masuk yang lebih adil bagi komoditas ekspor nasional, demi meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.***