JAKARTA INSIDER – Perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat (AS) dan China, kembali menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial.
Persaingan ini memanas setelah kebijakan tarif balasan (resiprokal) yang diberlakukan kedua negara secara agresif.
Presiden AS Donald Trump menerapkan kebijakan baru dengan menaikkan tarif impor barang-barang asal China hingga 145 persen.
Kebijakan ini disebut sebagai bentuk tekanan ekonomi agar China memperbaiki neraca perdagangan yang selama ini dianggap timpang dan merugikan AS.
Namun China tak tinggal diam. Sebagai respons langsung, pemerintahan di bawah Presiden Xi Jinping menetapkan tarif impor sebesar 125 persen untuk produk-produk asal AS. Langkah ini mengukuhkan sikap China bahwa mereka tidak akan tunduk pada tekanan ekonomi unilateral dari AS.
Dalam konteks ini, Raymond Chin, seorang influencer bisnis dan pengusaha muda Indonesia yang dikenal lewat startup edukasi finansial Ternak Uang, turut mengulas secara kritis dinamika ekonomi tersebut melalui kanal YouTube pribadinya pada Selasa, 15 April 2025.
Baca Juga: Menuju IPO dan rebranding, Gubernur Pramono tegaskan Bank DKI harus dikelola profesional
Menurut Raymond, langkah Trump ini berakar dari posisi AS sebagai negara pengimpor terbesar di dunia.
Ia menyebut nilai impor AS mencapai lebih dari 3,4 triliun dolar AS per tahun, menjadikan negara tersebut sangat bergantung pada arus barang dari luar negeri, termasuk dari China.
“Amerika jadi negara dengan importir paling besar di dunia, kalau tidak salah sekitar 3,4 triliun dolar,” kata Raymond.
Baca Juga: Nova Arianto angkat bicara usai Indonesia dibantai Korea Utara, evaluasi jelang Piala Dunia U-17
Namun, lanjutnya, Trump tampaknya enggan menerima posisi ini sebagai kelemahan. Ia memilih untuk membalikkan kondisi tersebut menjadi alat negosiasi keras terhadap negara-negara mitra dagang, khususnya China.
“Trump ini enggak mau kalah sama Xi Jinping. Tanggal 2 April kemarin, dia teken tarif resiprokal sebagai sinyal kuat kalau AS harus tetap jadi nomor satu,” tambahnya.
Raymond menilai kebijakan ini merupakan bagian dari strategi geopolitik dan ekonomi tingkat tinggi yang penuh perhitungan.