Trump juga keluar dari perjanjian perdagangan internasional seperti TPP (Trans-Pacific Partnership), menekan NAFTA hingga direvisi menjadi USMCA, dan sering menggunakan tarif sebagai senjata negosiasi dagang.
Strateginya adalah menaikkan tarif tinggi lebih dulu, lalu membuka ruang untuk negosiasi baru yang lebih menguntungkan pihak AS.
Namun menurut JK, strategi tersebut lebih menyerupai manuver taktis dalam bernegosiasi, ketimbang kebijakan yang berkelanjutan.
"Ini semua taktik tekanan. Seolah jual mahal dulu, lalu bisa ditawar. Tarif tinggi cuma cara untuk mulai berunding,” jelasnya.
JK menilai usaha Trump untuk menghidupkan kembali manufaktur dalam negeri AS akan menemui kendala besar, mulai dari biaya produksi yang mahal, kekurangan tenaga kerja industri, hingga tingginya biaya logistik dan perizinan.
“Bangun pabrik di Amerika itu mahal dan butuh waktu. Tidak bisa semurah Asia. Siapa yang mau kerja di pabrik sepatu di sana?” ujarnya.
Baca Juga: Perkuat sektor Nelayan, Menteri ESDM tambah 6 SPBU baru di Maluku untuk permudah akses BBM laut
Meskipun kebijakan tarif dari Presiden Trump tampak agresif dan mengundang kekhawatiran, dampaknya terhadap Indonesia masih tergolong minimal.
Justru, AS yang berisiko menghadapi tekanan dalam negerinya sendiri, baik dari pelaku industri maupun konsumen.
JK mengingatkan agar Indonesia tidak terlalu panik, dan melihat kebijakan ini sebagai peluang untuk menegosiasikan posisi dagang yang lebih menguntungkan.***