JAKARTA INSIDER - Menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa adanya pelanggaran berat HAM di Indonesia, Setara Institute menganggapnya mustahil adanya terobosan penyelesaian.
Apalagi mengingat tim hanya bekerja tak lebih dari 5 bulan dengan komposisi anggota yang kontroversial dan metode kerja yang tidak jelas.
"Mustahil bisa merekomendasikan terobosan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara berkeadilan," ujar Ismail Hasani, Direktur Eksekutif SETARA Institute, Jumat (13/1/2023)..
Menurutnya, tim ini hanya ditujukan untuk memberikan legitimasi tindakan bagi Presiden Jokowi membagikan kompensasi kepada para korban, tanpa proses rehabilitasi yang terbuka dan tanpa mengetahui siapa sesungguhnya pelaku-pelaku kejahatan itu.
Baca Juga: Menuju Final M4 World Championship, nggak bisa ke Senayan nggak masalah! Hadiri nobar di kotamu!
Dalam laman setarainstitute.org, SETARA Institute menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran secara spesifik perihal siapa-siapa aktor di balik 12 kasus yang telah dianalisis oleh Tim PPHAM.
"Persis dan konsisten dengan yang telah disampaikan oleh Kemenkopolhukam bahwa Tim PPHAM memang tidak mencari siapa yang salah, namun lebih kepada menyantuni dan menangani korban untuk dilakukan pemulihan," ucap Ismail.
Fakta ini adalah dampak dari ketiadaan mandat pemenuhan hak atas kebenaran (right to the truth) sebagai dasar untuk menentukan apakah suatu peristiwa bisa dibawa ke proses peradilan HAM.
Atau direkomendasikan diselesaikan melalui jalur non yudisial.
Padahal, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat esensial dalam penuntasan pelanggaran HAM berat, sekalipun melalui mekanisme non-yudisial.
Ada lompatan logika (logical jumping) yang dipraktikkan oleh pemerintah, yaitu mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran namun telah mengambil jalur non-yudisial sebagai mekanisme penyelesaian yang justru semakin berpotensi pada pengukuhan impunitas.
SETARA memandang cara kerja Tim PPHAM sengaja didesain untuk melahirkan aneka kontradiksi dan paradoks dalam diskursus dan gerakan advokasi penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu.
Sekalipun berkali-kali Menkopolhukam Mahfud MD menyampaikan bahwa jalur yudisial tetap terbuka, tetapi dengan keputusan politik presiden yang hanya menempuh jalur penyantunan pada korban.
Artikel Terkait
Tak hanya Menlu Inggris, Australia kecam hubungan Iran Rusia serta jatuhkan sanksi atas pelanggaran HAM
Yasonna H Laoly : Kasus pelanggaran HAM berat tidak hanya diselesaikan pro-justitia tapi juga non yudisial
Ketua Komnas HAM: Jika KUHP baru dipakai, otak pelanggaran HAM berat bakal sulit diproses hukum dan dibui!
Dikecam karena sebut Kanjuruhan bukan pelanggaran HAM berat, Menkopolhum pun beri jawaban menohok!
Pemerintah Indonesia mengakui memang terjadi pelanggaran HAM berat di masa lalu