Hal ini bermula dari keprihatinan sebagian publik terkait keberlangsungan warga RI yang berangkat menunaikan ibadah Haji dan Umrah di Arab Saudi.
“Peran negara, peran Kementerian Haji dan Umrah, peran Kemenlu, dan para atase semuanya otomatis punya tanggung jawab terhadap perlindungan terhadap mereka,” tegas Dahnil.
Ia memastikan, kebijakan tersebut tidak akan mematikan usaha biro perjalanan.
Pemerintah, menurutnya, akan menjaga ekosistem ekonomi haji dan umrah agar tetap sehat.
“Artinya, di luar perusahaan travel, tidak boleh ada yang menghimpun calon-calon jemaah umrah untuk berangkat ke Saudi Arabia,” tegas Dahnil.
Adaptasi atas Kebijakan Arab Saudi
Di sisi lain, Kementerian Haji dan Umrah RI menilai regulasi baru ini sebagai bentuk penyesuaian terhadap dinamika kebijakan pemerintah Arab Saudi yang kini membuka akses visa umrah secara lebih fleksibel.
Menurut Dahnil, regulasi ini penting agar masyarakat tetap terlindungi meski memilih berangkat tanpa agen.
“Dinamika kebijakan Arab Saudi tidak dapat dihindari," ungkap Dahnil.
"Untuk itu, perlu regulasi yang memberikan perlindungan untuk jamaah umrah kita yang memilih umrah mandiri, serta juga melindungi ekosistem ekonominya,” imbuhnya.
Penolakan dari Asosiasi Travel
Di lain pihak, asosiasi dan biro perjalanan umrah hingga kini masih menolak kebijakan tersebut.
Sebagian dari mereka menilai, legalisasi umrah mandiri akan mengurangi peran travel resmi dan mengacaukan mekanisme keberangkatan yang selama ini sudah berjalan.
Kendati demikian, pemerintah berpendapat, praktik umrah mandiri sebenarnya telah berlangsung sebelum undang-undang ini disahkan.
Bedanya, kini ada payung hukum yang jelas untuk memastikan keamanan, ketertiban administrasi, dan perlindungan jamaah.